Oleh: Agusto Sulistio (Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosial Media, Aktif di Indonesia DemocracyMonitor)
JAKARTA || Bedanews.com – Menjelang hari pencoblosan Pilkada serentak 2024, terutama di DKI Jakarta, publik dibanjiri berbagai opini dan manuver politik yang mencoba memengaruhi arah dukungan masyarakat. Fenomena ini memang wajar dalam kontestasi demokrasi. Namun, situasi menjadi tidak biasa ketika para elit kekuasaan turut campur hingga melampaui batas etika, seperti yang terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta, Jateng, Jatim, Bali dan Sumatera Utara. Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo bahkan “turun gunung” untuk mendukung salah satu pasangan calon.
Keterlibatan tokoh-tokoh besar ini tak hanya menunjukkan kualitas demokrasi yang semakin merosot, tetapi juga menguatkan sinyal bahwa kekuasaan sedang berusaha menekan oposisi. Dalam negara demokrasi, keberadaan oposisi adalah syarat mutlak untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, pada Pilkada 2024, kandidat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebagai partai oposisi utama, menghadapi tantangan yang tidak semestinya. Tekanan ini, ironisnya, justru berpotensi menimbulkan simpati publik terhadap mereka.
*Pertarungan Pemerintah dan Oposisi*
Pilkada DKI Jakarta menjadi medan utama yang mencerminkan pertarungan kekuasaan antara pemerintah dan oposisi. Pasangan Ridwan Kamil (RK)-Suswono, yang didukung Prabowo dan Jokowi, menghadapi pasangan Pramono-Rano dari PDI-P. Kehadiran tokoh besar di balik masing-masing pasangan membuat Pilkada ini lebih dari sekadar perebutan jabatan, melainkan pertarungan simbolis untuk memengaruhi arah pembangunan masa depan.
Menariknya, tokoh agama seperti Habib Rizieq Shihab juga turut mendukung pasangan RK-Suswono. Dukungan ini menambah dimensi baru dalam kontestasi politik, tetapi sekaligus menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
*Habib Rizieq dan Dilema Nilai-Nilai*
Dukungan Habib Rizieq terhadap RK-Suswono bersama Jokowi memicu kontroversi tersendiri. Masyarakat Jakarta masih mengingat peristiwa besar seperti Aksi 212, di mana Habib Rizieq menjadi oposisi paling vokal terhadap pemerintahan Jokowi. Hubungan keduanya mencapai titik terendah saat insiden tragis tahun 2020, yang menewaskan enam laskar Front Pembela Islam (FPI).
Kini, keberadaan Habib Rizieq dalam satu barisan politik dengan Jokowi untuk mendukung pasangan RK-Suswono dianggap banyak pihak sebagai langkah yang kontradiktif. Pertanyaan besar pun muncul: apakah ini adalah bagian dari rekonsiliasi politik yang tulus, atau justru tanda bahwa nilai-nilai yang dulu diperjuangkan telah digantikan oleh kepentingan pragmatis?
Pergeseran sikap tokoh-tokoh besar ini dapat dimaknai sebagai sinyal terkikisnya nilai-nilai. Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, pernah menyatakan bahwa, ketika manusia mengejar kekuasaan demi keuntungan material, mereka cenderung meninggalkan prinsip luhur yang sebelumnya mereka pegang teguh. Nietzsche menyebut fenomena ini sebagai wujud moralitas budak, di mana manusia tunduk pada kekuatan eksternal dan kehilangan integritasnya.
Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis menambahkan bahwa, ketika seseorang menyerahkan kebebasan dan nilai-nilainya demi kekuasaan, ia sebenarnya mengalami kejatuhan eksistensial. Sartre menggambarkan ini sebagai momen di mana pejuang kebenaran justru berubah menjadi bagian dari sistem yang mereka lawan.
Dalam konteks Habib Rizieq, keterlibatannya dalam mendukung RK-Suswono mencerminkan dilema nilai. Apakah ini adalah langkah strategis untuk kepentingan jangka panjang, atau justru bukti bahwa idealisme telah kalah oleh pragmatisme?
*Demokrasi Terancam*
Pilkada DKI Jakarta 2024 menjadi cerminan dinamika demokrasi Indonesia. Keterlibatan elit politik dan tekanan terhadap oposisi, seperti PDI-P, memunculkan kekhawatiran akan melemahnya prinsip dasar demokrasi. Jika oposisi terus ditekan, dampak negatifnya bisa signifikan.
Melemahnya oposisi membuka peluang bagi pemerintah untuk memusatkan kekuasaan tanpa pengawasan, meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan kebijakan yang mengabaikan rakyat.
Tanpa oposisi, aspirasi masyarakat kehilangan saluran. Hal ini memicu ketidakpuasan dan potensi konflik sosial.
Demokrasi membutuhkan oposisi untuk menyeimbangkan kekuasaan. Tanpanya, kebijakan hanya mencerminkan kepentingan elit, bukan rakyat.
Tekanan pada oposisi justru memperdalam polarisasi politik, memperkuat sikap ekstrem, dan memicu ketegangan sosial.
Publik bisa kehilangan kepercayaan pada demokrasi jika oposisi tidak diberi ruang. Akibatnya, muncul apatisme politik dan kecenderungan mendukung sistem otoriter.
Oposisi adalah pilar penting demokrasi. Menekan perannya hanya akan menciptakan demokrasi prosedural tanpa substansi. Untuk menjaga demokrasi tetap hidup, rakyat harus memastikan pemilu berjalan adil, menjaga independensi lembaga pengawas, dan menolak segala upaya yang melemahkan oposisi.
Demokrasi sejati hanya dapat terwujud jika perbedaan dihormati dan kekuasaan diawasi. Pilkada 2024 bukan sekadar kompetisi politik, tetapi juga ujian keberlangsungan demokrasi Indonesia. ***