Perumusan UU HAP yang akan datang idealnya menganut transformative conception, mereduksi keadilan restoratif menjadi semata-mata mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sebagaimana ditemukan dalam RUU HAP.
Jika dipahami sebagai mekanisme di luar pengadilan semata, maka keadilan restoratif justru akan berujung ketidakadilan, karena masyarakat tidak benar-benar terlibat dalam transformasi yang dibidik, atau bahkan lebih buruk hanya bersifat transaksional antara pelaku dan korban.
Orientasi keadilan restoratif seharusnya terletak pada kebutuhan, bukan hak, sehingga yang paling penting adalah memulihkan korban-pelaku-masyarakat sesuai kebutuhannya, walaupun ini kurang/lebih dari hak yang dipunyai mereka.
Hukum Acara Pidana yang ideal tidak memihak salah satu, melainkan mengintegrasi secara seimbang antara diferensiasi fungsional dan dominus litis.