JAKARTA, BEDAnews.com – Pemerintah dinilai sampai saat ini belum serius membantu masyarakat hukum adat, khususnya dalam pemilikan hak-hak tanah yang selama ini telah sejak lama dikuasai oleh kelompok masyarakat adat.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang sudah menyerahkan jutaan sertifikat tanah kepada masyarakat, bahkan ia mencanangkan agar tahun 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia dapat disertifikatkan termasuk rumah-rumah ibadah yang tersebar di Indonesia. Namun semua kebaikan Jokowi itu belum menyentuh keberpihakannya kepada masyarakat adat.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi daring yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, yang sekaligus meluncurkan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) APHA di Jakarta, Kamis (12/11/2020).
Dalam diskusi yang dibuka Ketua Umum APHA Indonesia, Dr. Laksanto Utomo itu, dihadiri lebih dari 200 peserta dari kalangan praktisi, akademisi dan Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) dan para mahasiswa.
Dr. Kunti Tridewiyanti, pengajar hukum adat dari Universitas Pancasila mengatakan, hak-hak menguasai dari negara di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan yang dibuat oleh pemerintah.
Kalimat itu dituangkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Agraria No 5 Tahun 1960 Pertanyaan lanjutan adalah, sudah lebih dari 30 tahun pasal itu lahir dan saat ini pemerintah membuat aturan resmi hak-hak yang dapat dimiliki oleh masyarakat hukum adat ?
Oleh karenanya, kata Dr. Kunti, meski Presiden Jokowi sudah menerbitkan sekitar 18,9 juta bidang tanah dan tersebar di 31 propinsi di Indonesia, atau setara 5,3 juta hektar yang tersertifikasi, belum memberikan rasa nyaman dan aman bagi masyarakat hukum adat yang saat ini tersebar di berbagai belahan wilayah.
“Saya kadang merasa jengkel, mengapa Dewan Perwakilan Rayat (DPR) bersama Pemerintah tak kunjung mengesahkan draf RUU Hukum Masyarakat Adat. Jangankan RUU, untuk sekedar penerbitan PP saja belum mau menerbitkannya,” katanya sambil nada bergurau.
Dengan adanya LKBH APHA, ia berharap dapat bekerja lebih luas, baik dalam meningkatkan penelitian dan perjuangan advokasi bagi masyarakat hukum adat.
Selain Kunti, Pembicara lain Marthen Salinding juga menyampaikan hal sama. Pada prinsipnya, Pasal 2 UU No 5 Tahun 1960 itu representasi dari Pasal 18 b UUD NKRI, yakni Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Tetapi kalimat itu tidak berhenti di sampai disitu, melainkan, …. yang diatur oleh negara. Dalam teks itu tentu membutuhkan peraturan perundang-undangan lebih lanjut. Nah disitulah masalahnya, sampai saat ini DPR dan Pemerintah belum mau mengesahkan RUU Hukum Masyarakat Adat.
Selain Marthen, dalam diskusi juga hadir tokoh LSM bidang Kehutanan dan Pertanahan Dr. Petrus Gunarso, dosen Univ sahid, Dr. Wahyu Nugroho, dan dosen Unas Dr. Massubagyo, dan dosen IBLAM. Dr. Theo Yusuf MS. Bersama Ketua LKBH APHA Dr. Yamin SH MH, advokat dan dosen Univ Pancasila, para dosen akan terus memperjuangkan lahirya UU Masyarakat hukum Adat, termasuk melakukan advokasi masyarakat adat yang tanah penguasaanya sering dipinggirkan oleh penguasa dan pengusaha.
LKBH ini lahir, karena hukum masih belum berpihak kepada masyarakat adat, sementara masih banyak para pelaku atau pejabat negara nakal, dengan membuat kebijakan yang merugikan hak-hak kaum adat. Inilah perjuangan LKBH kedepan, kata Wahyu Nugroho. Ty