Damai Hari Lubis (Pemerhati KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
JAKARTA || Bedanews.com – Fungsi KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dibekali banyak kewenangan, diantaranya andai dalam kondisi tertentu dibolehkan melakukan tindakan dengan aksi paksa (coercive power), bahkan dapat menggunakan tambahan tenaga aparatur Polri serta difasilitasi oleh keuangan negara sekalipun harus melakukan investigasi ke bank di luar negeri tempat terduga mengadakan transaksi dan atau mengejar serta menangkap tersangka di luar negeri.
Dikarenakan fungsi dan kewenangan serta fasilitas yang dimiliki KPK. Maka, perilaku KPK nampak anomali dan tidak berlaku equal, sebab ketika OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project), walau bukan bagian dari Lembaga Negara RI. Namun hasil investigasi dari organisasi dunia ini, dapat menjadi bukti temuan atau informasi berharga, karena OCCRP berani mempublikasi Jokowi adalah presiden nomor 2 dari 5 pemimpin terkorup didunia (195 negara), tapi KPK bukan melakukan koordinasi (kerja sama) dengan pihak OCCRP justru dingin menyikapinya, malah teriak minta tolong kepada publik, _”jika mendapatkan bukti agar menyerahkannya kepada KPK”._
Namun kenapa KPK pada 24 Desember 2024 (malam natal) tega-teganya menetapkan Hasto yang beragama Katholik sebagai TSK, seperti tidak ada tanggal dan hari lain setelahnya? lalu perkembangan fakta hukumnya pada 4 Januari 2025 ternyata KPK masih membutuhkan saksi, terbukti KPK memanggil Ronny Franky Sompiei, artinya KPK prematur pada 24 Januari 2024 menetapkan Hasto (Jo. KUHAP) sebagai TSK?
Maka indikasi dari gambaran peristiwa hukum a quo, KPK mempolitisasi tugas pokok fungsi dan kewenangan (Tupoksi) atau dengan kata lain KPK tidak pure penegakan hukum.
KPK mempermainkan mentalitas, karena KPK terbukti telah menginjak-injak hukum dan hak hukum serta HAM Hasto, juga merendahkan dan merugikan moralitas keluarga besarnya. Sehingga perilaku KPK patut dinyatakan merupakan wujud praktik kejahatan Hukum dan HAM.
*_Terlebuh sesuai sistim hukum, kasus yang ditangani oleh KPK terkait Hasto tidak berhubungan sama sekali dengan delik korupsi/ Tipikor._*
Karena sesuai UU KPK tegas disebut, anasir dari delik korupsi harus memenuhi beberapa faktor:
1. Kerugian perkonomian atau keuangan negara,
2. dilakukan oleh pejabat publik atau penyelenggara negara atau ASN,
3. dengan kehendak atau dolus/opzet/ mens rea untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau korporasi atau menguntungkan orang lain.
Lalu perihal hubungan tuduhan gratifikasi atau korupsi ini siapa pejabat publik atau penyelenggara negara? Harun Masiku atau Hasto? Dalam catatan hukum tempus delicti keduanya bukan kategori pejabat publik serta tidak ada sangkut pautnya terhadap faktor kerugian keuangan negara
Dan perlu diketahui, delik gratifikasi keberadaannya memang terdapat dalam UU Tentang KPK Jo. UU Tentang Tipikor. Maka logika hukumnya, bagaimana bisa pada delik gratifikasi oleh KPK disebut sebagai obstruction of justice terhadap kasus korupsi? Ini nomenklatur yang blunder.
Maka ketika Ketua KPK menyatakan, akan menjerat Hasto terkait perintangan dalam penyidikan korupsi, ini sekedar stressing kepada Hasto, justru membuktikan KPK melakukan manipulasi fungsi tugas dan kewenangannya, dengan cara-cara intimidasi, sebuah perilaku tak layak karena diluar sistim KUHAP Jo. UU KPK. *_KACAU INI KPK_*.
Terminologi hukum beracara yang digunakan KPK keliru atau sekedar pressure politik? Bukan pure hukum yang akhirnya membuat sistim hukum tercederai oleh KPK. Karena KPK sengaja blunder-kan pemahaman terhadap kasus filial dari Harun Masiku.
Dan terkait suap tentu ada pemberi dan diberi atau perantara, bagaimana pemberinya (HARUN MASIKU) saja tidak ditemukan, pakai bukti saksi pemberi suap yang mana?
KPK tidak boleh bermodal unsur delik dengan “katanya” ini metode politik hukum monarki absolut (otoritarian), dengan pola suka-suka ala DIKTATOR. Ini inkonstitusional, mutlak bertentangan dengan politik Pancasila dan melanggar sistem UUD 1945. Karena sistim hukum NKRI tidak mengenal pembuktian yang berasal ari “katanya” karena “katanya” dari pihak ketiga bukan kategori unsur bukti pengakuan dari Pelaku dan juga bukan kategori keterangan saksi. Karena kesaksian adalah keterangan yang disampaikan langsung oleh saksi di hadapan majelis persidangan (Jo. KUHAP).
*_Selain dipastikan, bahwa Hasto dan Masiku keduanya bukan pejabat publik atau penyelenggara negara atau ASN. Serta tidak ada hubungannya dengan kerugian uang negara. Sehingga sebuah kejelasan kasus a quo Hasto tidak ada urusannya dengan KPK_*
Adapun hubungan hukum antara Hasto dan Harun Masiku merupakan ranah keperdataan (private recht) antara kader internal partai, sehingga menjadi urusan mahkamah partai (Bidang Kehormatan DPP PDIP) atau musyawarah antara pihak atau paling banter diselesaikan di kepaniteraan perdata Pengadilan negeri.
Andai ditemukan ada unsur pidana, lalu para pihak yang merasa dirugikan, ingin menempuh jalur hukum, maka Harun Masiku atau orang-orang yang merasa ditipu (Pasal 378 KUHP) atau digelapkan uangnya (Jo. 372 Jo. 374 KUHP), yang kedua pasal tersebut merupakan delik aduan dan masuk pada kriteria tindak pidana umum, sehingga terkait dugaan atas adanya kedua delik tersebut, mesti dimulai dan diawali dengan adanya proses pelaporan atau pengaduan dari korban, yakni Harun Masiku. ***