Namun demikian, isu ini tetap hidup dan terus mencuat di ruang publik, bahkan telah masuk ke ranah hukum. Beberapa pihak yang mengajukan tuduhan akhirnya dijerat proses pidana. Meskipun telah ada klarifikasi akademik, ketidakjelasan dalam pembuktian langsung di hadapan publik membuat sebagian masyarakat tetap mempertanyakan keabsahan ijazah tersebut.
Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa demi menjaga integritas dokumen akademik pejabat publik, Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) perlu melakukan terobosan hukum yang bersifat progresif. Beban pembuktian seharusnya tidak hanya dibebankan kepada pihak penuduh, tetapi juga kepada pihak yang dituduh. Argumentasi ini logis dan relevan, terutama bila menyangkut figur pejabat tinggi negara, baik yang sedang menjabat maupun yang telah purnatugas. Langkah ini penting untuk mencegah fitnah yang terus berulang serta menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara.