Opini
Oleh : Rianny Puspitasari
(Pendidik)
Minuman keras apapun namamu
Tak akan kureguk lagi
Dan tak akan kuminum lagi
Walau setetes
Demikian penggalan lagu yang dipopulerkan oleh ‘Raja Dangdut’ Rhoma Irama untuk mengajak meninggalkan minuman keras. Namun sayang, dalam kehidupan nyata justru peredaran miras semakin menjadi-jadi. Pada akhir Februari lalu, di Kabupaten Bandung telah ditangkap S dan F yang membuat miras impor palsu.
Keduanya ditangkap oleh Satnarkoba Polresta Bandung yang juga menyita 259 botol berisi racikan alkohol, air mineral dan minuman bersoda. Mereka mengumpulkan botol-botol merk impor tersebut dari para pemulung dan menjual miras tadi secara online dan offline dengan harga seratus ribu rupiah. Padahal minuman ini jika asli harganya bisa mencapai jutaan rupiah.
(antvklik.com, 28/2/23)
Razia miras memang cukup sering dilakukan, terlebih menjelang bulan suci Ramadhan. Hal ini dilakukan dengan alasan agar masyarakat tenang dalam menjalankan puasa dari hal-hal yang bisa mengganggu ibadah. Namun sebenarnya untuk menyelesaikan masalah peredaran miras secara tuntas tentu tidak cukup hanya dengan razia.
Ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama yang harus melibatkan individu dan masyarakat terutama negara. Mirisnya, pemerintah [negara] yang harusnya memberi rasa aman dan nyaman justru mengeluarkan kebijakan hanya membatasi peredarannya di tempat dan kadar tertentu, bukan melarangnya secara menyeluruh.
Kita ketahui bersama, minuman keras membuat mabuk seseorang yang menenggaknya. Kondisi kesadaran yang terganggu adalah permulaan banyak kasus kejahatan terjadi. Pembunuhan, perkosaan dan tindak kriminal lain bisa dilakukan oleh siapapun yang berada dalam pengaruh alkohol.
Tentu ini bukan hal yang sepele, justru sangat berbahaya. Namun sayang, dalam atmosfer kapitalisme sekuler konsumsi miras tidaklah dilarang, hanya diatur. Karena ada keuntungan berupa pajak dan dipandang sebagai bisnis yang menggiurkan, maka madarat atau mafsadat bukanlah hambatan. Bahkan generasi rusak sekalipun tak jadi persoalan asal para kapitalis sejahtera.
Seharusnya pemerintah menjadi tameng pertama dalam menjaga masyarakat dari kejahatan yang diakibatkan oleh penggunaan miras. Negara dengan kekuatan hukum yang mengikat memiliki kemampuan untuk menindak tegas para pelaku kriminalitas.
Berikutnya, dengan sanksi yang jelas akan membuat siapapun yang berbuat kejahatan atau memiliki niat melakukan kemaksiatan takut dan jera sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya. Namun sayang, hukum di negeri ini hanya mengganjar pelaku yang menenggak minuman keras dan mengganggu ketertiban atau mengancam keselamatan orang lain dengan pidana denda maksimal 10 juta rupiah.
Pemisahan antara agama dan kehidupan berimbas pada tidak dijadikannya Islam sebagai landasan dalam aktivitas kehidupan. Halal-haram bukanlah tolok ukur dalam menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Materi atau keuntunganlah yang menjadi pertimbangan segala sesuatu.
Jika menghasilkan cuan, hal yang dilarang pun berubah menjadi boleh. Ini adalah ciri khas pandangan hidup sekulerisme-kapitalisme yang tidak bisa dipungkiri sedang diterapkan saat ini.
Berbeda dengan Islam, minuman beralkohol adalah sebuah keharaman. Orang yang meminumnya, menjualnya, dan membuat atau meraciknya berdosa di hadapan Allah. Dalil keharamannya telah jelas dalam Al-Qur’anul kariim dan hadis Rasulullah saw.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. ” (TQS Al-Maidah: 90)
Dari Anas bin Malik, dia berkata;
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh golongan dengan sebab khamr: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang minta diantarkan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang makan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan.” (HR. Tirmidzi, no. 1295; Syaikh al-Albani menilai hadits ini Hasan Shahih).
Peredaran miras sesungguhnya dapat ditangani hingga tuntas jika hukum Islam diterapkan.
Seseorang yang mengikatkan diri kepada aturan Allah akan takut melakukan tindakan yang sudah jelas larangannya. Ia akan senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan berusaha menjadi orang yang bertakwa, ini adalah lapisan pertama yang menjadi rem dalam meminum khamr. Berikutnya jika ada yang terjerat dalam konsumsi miras, orang yang berada di sekitarnya akan mengingatkan sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar.
Hal demikian tidak dipandang ikut campur urusan orang lain, tetapi adalah kepedulian terhadap saudara seiman agar terhindar dari maksiat. Ini adalah lapisan kedua. Tidak cukup dengan dua hal tadi, diperlukan lapisan ketiga berupa aturan tegas dari negara sebagai hukum mengikat dalam mengatur minuman keras ini.
Negara yang menerapkan Islam dalam tata kehidupan masyarakat akan memberi sanksi pada individu atau lembaga yang melanggar aturan. Pemerintah dalam Islam akan melaksanakan aturan dengan dorongan keimanan dalam menjaga umat dari perbuatan maksiat. Adapun sanksi dalam hukum Islam bagi orang yang meminum khamr adalah dicambuk sebanyak 40 hingga 80 kali. Khalifah beserta jajarannya akan memberikan hukuman yang seadil-adilnya berdasarkan hukum syarak.
Inilah keagungan Islam dalam mengatur kehidupan. Tidak ada yang bisa menandingi kesempurnaannya jika diterapkan dalam kehidupan sosial. Sangat jauh berbeda dengan aturan yang sedang bercokol saat ini yang seringnya menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah baru. Oleh karena itu, mari kembali kepada Islam sebagai sebuah tata aturan kehidupan agar kita selamat bukan hanya di dunia, tapi juga kelak di akhirat.
Wallahu ‘alam bishshowab