Bandung, bedanews.com
2023 adalah tahun pergantian rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Apakah rektor pengganti Prof Mahmud itu sebagai representasi dari masyarakat akademis, atau wakil dari elite ormas/golongan,calon dropingan pusat atau kaum kapitalis?
Di Kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung sering terdengar ungkapan bahwa calon rektor si A sudah mengantongi rekomendasi ormas terbesar; si B adalah orang dekat partai politik, dan si C dekat dengan pejabat kementerian bahkan punya modal besar untuk kasak-kusuk ke pusat.
Begitulah iklim politik kampus UIN SGD setiap menjelang pemilihan rektor. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa betapa sengitnya perebutan kursi panas orang nomor satu kampus Islam itu. Patut diduga, terjadinya persaingan dipicu oleh gerakan politik pragmatis dan fanatisme kelompok.
Sebagian besar profesor yang tergabung dalam senator universitas dan elite kampus lainnya ikut terjebak dalam politik pragmatis, demi kekuasaan sesaat. Persaingan elite ormas pun ikut andil dalam menciptakan situasi persaingan calon rektor, sehingga memicu konflik antarelite kelompok atau golongan. Dengan target, kampus menjadi basis politik bagi para elite nasional.
Mereka seolah lupa, seharusnya menjelang perhelatan empat tahunan itu membincangkan masa depan kampus. Dan, ini harus diinisiasi oleh para guru besar yang terhormat, bagaimana kampus UIN SGD ke depan bisa berjalan efektif terutama dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Dari perbincangan itu akan lahir kriteria calon rektor yang diyakini dapat menjaga semangat keilmuan, calon yang punya integritas, dan visioner. Sehingga visi kampus –unggul dan berdaya saing dengan bingkai akhlak mulia– bisa diwujudkan, tidak sekadar jargon atau slogan.
“Wah… jangan sampai masyarakat kampus tersekat gara-gara politik pragmatis atau egoisme kelompok. Rektor, mau dari kalangan HMI, PMII, ICMI, NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, nggak masalah. Yang penting dia seorang pemimpin, bukan manajer perusahaan,” kata salah seorang dosen yang enggan disebut nama. Kamis, 05 Januari 2023.
Rektor kedepan, lanjut dia, adalah sosok yang menjunjung tinggi kejujuran, mau membenahi sistem, dan rendah hati. Rektor seperti ini dapat dipenuhi manakala proses pemilihannya menghasilkan seorang pemimpin yang representatif, lahir dari ketokohan yang bisa diterima oleh semua pihak.
Indikator yang bisa diamati, lanjut dia, antara lain rektor yang merasa bukan hanya milik golongan (misalnya,, dari HMI atau PMII) tetapi milik semua pihak; mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan dirinya; menjadi panutan masyarakat; peka terhadap persoalan yang menimpa masyarakat kampus; serta terbuka untuk dikritik dan menerima masukan dari semua pihak.
Dijelaskan, Rektor itu bukan seorang manajer yang menganggap kampus sebagai “perusahaan”, melainkan sebagai pemimpin yang memiliki kemampuan untuk berjalan bersama-sama dengan sivitas akademika menuju tujuan bersama, sebagaimana yang dikehendaki oleh para pendiri/pendahulu UIN SGD. Sosok rektor seperti ini akan bisa terpenuhi apabila digali dari tengah-tengah masyarakat kampus secara bebas dan terbuka.
“Jangan harap Rektor bisa memimpin kalau dia punya jarak dengan yang dipimpinnya, lalu memelihara sikap dan perbuatannya yang mengakibatkan jarak di antara bawahannya,” katanya.
Narasumber lain menduga, calon-calon yang dimunculkan atau yang diajukan lebih besar loyalitasnya kepada kelompoknya daripada komitmennya kepada masyarakat kampus. Mereka lebih memperlihatkan identitas kelompoknya daripada identitas akademik. Kelompok HMI dan PMII, kata dia, dalam praktiknya disinyalir masih authoritarian dimana kewenangannya menjadi referensi dalam setiap pengambilan keputusan.
“Ini tidak hanya menyimpang dari prinsip akademis, tetapi juga tidak memungkinkan adanya inisiatif dari luar kelompok. Jika ada perbedaan yang datang dari bawah dipandang sebagai penentangan terhadap otoritas kelompok yang menjadi atasan, bahkan terancam diberi sanksi,” jelasnya.
Menurutnya, sikap dan perbuatan para elite kelompok lebih mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok daripada persoalan yang dihadapi masyarakat akademis, sehingga sulit orang-orang di kelompok itu berada di tengah-tengah masyarakat kampus.
“Menurut saya, untuk rektor ke depan lebih baik di-dropp oleh pusat (Kemenag RI, red). Dengan harapan bisa meminimalisasi atau menghindari lingkungan yang sudah materialistik dan koruptif, juga sifat permisif terhadap penyimpangan yang telah menurunkan wibawa kampus,” harapnya.
Rektor droppingan diharapkan tidak menambah jarak semakin jauh dengan orang-orang yang harus dipimpinnya. “Dan tentunya, rektor droppingan harus bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat kampus dengan menunjukkan kejujuran dan kerendahan hatinya,” tambahnya lagi.*Tim