JAKARTA || Bedanews.com – Demokrasi adalah sebuah gagasan dan pandangan hidup yang menekankan pentingnya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap individu, serta perlakuan yang adil dan setara di antara semua warga negara. Dalam konteks sistem pemerintahan, demokrasi berarti bahwa seluruh rakyat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, biasanya melalui perwakilan yang mereka pilih. Dengan demikian, demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat dan dari rakyat.
Demokrasi di Indonesia ditentukan dalam konstitusi yang namanya UUD 45, yakni Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi:
“*Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar*”
Salah satu amanat pasal 1 ayat (2) UUD 45 adalah Pasal 28D ayat (3) UUD 45, yang berbunyi:
“*Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan*”
Dengan demikian, maka setiap warga negara berhak memperoleh kesetaraan dan kesempatan yang adil dalam proses politik dan pemerintahan, dimana prinsip kesetaraan usia dalam pemilihan umum menjadi sangat relevan, yakni jika seseorang memiliki hak untuk memilih setelah mencapai usia minimal 17 tahun, maka hak untuk dipilihnya pun seharusnya dimulai pada usia yang sama, yaitu minimal 17 tahun.
Kesetaraan usia tersebut semakin dipertegas dalam ayat 1, Pasal 43, UU No. 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia, yang berbunyi sbb:
“*Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan*”
Oleh karena itu, ambang batas usia yang ditetapkan dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bertentangan dengan UUD 1945. Namun, ketentuan ini tampaknya sengaja dipertahankan oleh DPR dari satu periode ke periode berikutnya sejak reformasi. Yang lebih mengejutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak pernah membatalkan ambang batas usia tersebut padahal bertentangan dengan UUD 45, dan selalu beralasan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan pembuat undang-undang. Ironisnya, belakangan ini, MK justru terlibat dalam pengaturan ambang batas usia tersebut, menambah kompleksitas situasi ini.
Lalu, di mana letak kesalahannya? Ketika Prabowo Subianto menyadari bahwa ia tidak akan mampu memenangkan Pilpres melawan Ganjar Pranowo, yang didukung oleh Jokowi dengan tingkat popularitas yang sangat tinggi, ia kemudian memilih untuk mengusung putra Jokowi sebagai calon wakil presiden-nya. Langkah ini diambil untuk meraih dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia yang masih loyal kepada Jokowi, dimana kemudian strategi Prabowo tersebut berhasil menenggelamkan Ganjar dan Anies di Pilpres 2024.
Ironisnya, kemudian muncul tuduhan bahwa Jokowi telah membunuh demokrasi dengan menjadikan anaknya sebagai calon wakil presiden dari Prabowo. Padahal, terpilihnya Gibran sebagai wakil presiden terjadi melalui proses demokratis, di mana ia dipilih langsung oleh 58% rakyat Indonesia. Bukankah suara rakyat adalah suara demokrasi? Apakah ada yang dapat membantah kenyataan ini?
Dalam demokrasi, kita mengenal istilah Vox populi vox dei, yang dapat diterjemahkan sebagai “suara rakyat adalah suara Tuhan.”
Artinya, suara rakyat harus dihargai sebagai penyampai kehendak Ilahi. Oleh karena itu, tidaklah tepat jika menjadikan demokrasi sebagai alat propaganda kebencian dan kedengkian kepada seseorang yang memiliki kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT.
*Inas N Zubir*
_Politisi Senior Partai Hanura_