Sejumlah kebijakan strategis yang diusung Prabowo, seperti keputusan bergabung dengan BRICS, pembentukan Danantara dan Bank Emas, kewajiban penempatan 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam di dalam negeri, efisiensi pengendalian utang luar negeri, serta hilirisasi komoditas, sejatinya merupakan langkah berani memperkuat kemandirian ekonomi Indonesia. Namun, di tengah upaya tersebut, ada dugaan muncul pola rekayasa yang memicu kesalahpahaman publik terhadap kebijakan pemerintah. Media sosial dan platform open source kerap dimanfaatkan untuk membenturkan masyarakat dan mengobarkan kemarahan publik. Apakah benar demikian?
Kritik terhadap Prabowo, penulis menilai bukan hanya soal kesalahpahaman terhadap kebijakan pemerintah, melainkan juga kekecewaan publik terhadap ketidaksesuaian antara pidato-pidatonya yang berapi-api dengan realitas politik. Prabowo yang selama ini dipandang sebagai pemimpin perubahan dengan komitmen menegakkan hukum, justru dinilai abai dalam menghadirkan keadilan. Figur-figur yang sebelumnya menjadi target hukum tetap berkeliaran di panggung politik nasional, bahkan diberi posisi strategis. Sementara itu, pemotongan anggaran di sektor pendidikan yang seharusnya bisa dihindari semakin memperburuk kepercayaan publik. Padahal, dalam pidato-pidatonya, Prabowo menekankan pentingnya penegakan hukum guna mengembalikan anggaran negara yang bocor akibat korupsi untuk pembangunan nasional. Efisiensi anggaran memang perlu, tetapi bukan dengan mengorbankan sektor pendidikan yang menjadi investasi jangka panjang bagi bangsa. Pemerintahan Prabowo semestinya lebih mengedepankan upaya penegakan hukum terhadap pelaku penyelewengan anggaran serta melakukan audit forensik independen di berbagai lembaga, khususnya BUMN yang jelas telah diberitakan berbagai media terpercaya banyak terjadi kebocoran dam korupsi.