Oleh: Muhammad Rofik Mualimin (Dosen STAI Yogyakarta/Pengasuh PP Latifah Mubarokiyah)
YOGYAKARTA || Bedanews.com – Tidak sulit membayangkan pagi hari di sebuah warung kopi pinggir jalan: aroma robusta dan wangi asap tipis dari petani yang membakar sisa jerami. Ironi itu nyaris menjadi metafora sempurna atas kondisi hutan kita—mempesona, tapi perlahan terkikis.
Indonesia pernah dikenal sebagai “paru-paru tropis dunia,” menyimpan kira-kira 84% wilayah daratan sebagai hutan pada 1900, kini menyusut drastis di bawah 50%.
Keberanian membaca angka ini sungguh mencekam. Bayangkan: dulu hutan menghijau hingga ke cakrawala—sekarang menyisakan potongan-potongan yang tinggal menanti untuk jadi kenangan.
Salah satu tameng kebijakan paling ambisius adalah moratorium hutan primer dan lahan gambut, yang diharapkan bisa menahan laju rubuhnya hutan. Sayangnya, praktik mengeruk hutan dalam konsesi—yang secara legal boleh dikeruk—justru melejit. Artinya, meski tampak ada “perlindungan,” akar masalah justru menjalar lebih dalam.