Bandung, BEDAnews – Sidang kasusl korupsi Pembangunan Pasar Sindangkasih Cigasong Majalengka kembali digelar di Pengadilan Tipikor Bandung pada Selasa 17 Desember 2024.
Persidangan yang digelar di gedung utama ini menghadirkan saksi mantan Bupati Majalengka Karna Sobari, Sekda Majalengka Eman Sulaeman dan tiga orang saksi ahli yakni ahli dari hukum Pidana Tipikor Prof. Agus Surono, ahli Administrasi Negara (Perundang undangan) Dr Kartono dan ahli forensik digital Irwan Haryanto.
Saksi mantan bupati Majalengka Karna Sobari mengakui dari awal kehadiran Dede Riska di tim PGA akan menimbulkan masalah, dan proyek revitalisasi Pasar Sindangkasih, dipastikan tidak beres.
Menurutnya insting itu berdasarkan rekam jejak Dede Riska Nugraha yang menyandang status narapidana, hal lainnya karena telah merusak bangunan vital milik Pemkab Majalengka.
“Dia (Dede Rizka Nugraha) itu telah merusak kantor dan pernah dipenjara, bahkan bisa menggugat Pemkab Majalengka. Mungkin karena pembongkaran pasar darurat. Dan memang pasar darurat itu tak punya ijin sehingga saya perintahkan ke Satpol PP untuk membongkar pasar darurat itu,” kata Karna Sobari.
Sementara kesaksian Eman Sulaeman lebih banyak mengatakan lupa dan tidak tahu, ketika jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan kronologi munculnya proyek revitalisasi pasar tersebut.
Di sisi lain ahli Pidana Tipikor Prof. Agus surono, menilai unsur gratifikasi dalam kasus ini sudah jelas terpenuhi. Bukti menunjukkan adanya pemberi dan penerima. Ia mengutip Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12 (ayat 12a dan 12b) Undang-Undang Tipikor sebagai dasar hukumnya.
“Suap terjadi dalam konteks permintaan dan tawaran yang jelas, dan biasanya melibatkan tindakan ilegal atau melanggar etika, ” uajr Agus Surono.
Namun, pemberian uang, barang, hadiah atau janji yang diterima oleh penyelenggara negara yang diberikan dalam konteks jabatan mereka. Itu bertujuan untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan yang bersifat tidak sah.
“Gratifikasi bisa disebarkan secara umum dan bisa bersifat legal, tetapi sering kali dapat menjadi suap jika diberikan dengan niat untuk mendapatkan manfaat tertentu dari pejabat yang menerimanya,” ujarnya.
Dr. Kartono sebagai ahli Administrasi Negara (Perundang undangan) menerangkan karena di sini menggunakan trase diri sendiri atau orang lain yang diuntungkan, maka yang dimaksud dengan Pasal 12 huruf e di sini adalah alternatif sekali. Artinya bisa salah satu atau dua duanya,
“Kemudian apakah terkait pasal 12 huruf b ini sepengetahuan ahli, apakah bisa didakwakan atau disangkakan terkait dengan selain pegawai negeri atau penyelenggara negara, ” Kata JPU
Ahli hukum pidana pun memaparkan bahwa jika urusan norma di pasal 12 b secara spesifik subyek tidak tindak pidana, tapi jika ada kaitannya dengan pasal 15 dalam UU Tipikor itu bisa dikenakan terhadap bukan hanya pelakunya pegawai negeri atau penyelenggara negara.
“Dimana pasal 15 itu setiap orang menggunakan subyek tindak pidana. Dan yang dimaksud setiap orang di sini adalah yang melakukan permufakatan pihak, percobaan, kemudian pembantuan dalam melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 sampai dengan pasal 14,” papar ahli hukum pidana.
Ini artinya, lanjutnya lagi, jika kemudian ada pelaku lain yang berkaitan dengan pasal 12 huruf e maka kemudian pelaku yang tidak pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka bisa dikaitkan dengan pasal yang lain yaitu pasal 15 UU Tipikor.
Penjabaran Unsur di Pasal 12 Huruf e
Sementara unsur unsur pasal 12 huruf e putusan normanya adalah penyidangan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara singkatnya 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp200 juta, paling banyak 1 miliar.
“e nya itu adalah subyek tindak pidana pegawai negeri atau penyelenggara negara, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dan yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan tindak teori dalam kaitannya dengan sengaja, sengaja dengan maksud. Dan maksudnya itu adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Ini ada unsur melawan hukumnya, atau menyalahgunakan kekuasaannya,” paparnya lagi.
Artinya unsur melawan hukum atau penyalahgunakan kekuasaan, ini adalah unsur yang sifatnya alternatif, bisa salah satunya. “Dimana unsur menyalahgunakan kekuasaannya itu adalah memaksa seorang menerima sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu.”
“Makna dari memberi sesuatu kemudian membayar atau menerima pembayaran dan seterusnya unsur penggelapan memaksa seseorang tadi itu adalah unsur sifatnya alternatif dalam menggunakan kata atau menggunakan kata apem,” papar Ahli hukum pidana.
Hal lain ketika JPU menanyakan kepada ahli hukum administrasi perundang undangan, Dr. Kartono terkait dasar pembentukan perundang undangan di daerah hirarkinya bagaimana dan seperti apa. Dan ahli memaparkan bahwa hirarkinya disamping UU nomor 12 tahun 2017 juga terbit peraturan menteri dalam negeri nomor 80 tahun 2015 kemudian juga peraturan kemendagri nomor 20 tahun 2014.
Begitupun ketika JPU menanyakan terkait data elektronik kepada ahli forensik digital Irwan Haryanto. Ahli memaparkan bahwa data data elektronik bisa dijadikan alat bukti pada suatu perkara setelah dilakukan penelusuran dan atau penyitaan barang berupa telepon genggam atau HP serta sejenisnnya.
Disebutkan barang barang elektronik tersebut kemudian dilakukan pendataan atau penelusuran rekam jejak pelaku pada suatu perkara yang ada kaitannya dengan perkara yang muncul dan sedang ditangani. “Halnya penelusuran chat WhatsApp hingga percakapan lainnya.