JAKARTA – Ketua Umum Partai Demokrat, H. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menekankan tentang perlunya memperkuat daya tahan dan daya saing bangsa untuk mencapai puncak krjayaan pada tahun 2045 nanti, menjelang 100 tahun setelah Indonesia merdeka.
Hal itu disampaikan AHY saat menutup rangkaian pidato para Ketua Umum Partai Politik dalam rangka 50 tahun Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu kemarin (25/8/2021).
Sudut pandang pidato AHY yang merupakan Ketua Umum Parpol paling muda di acara tersebut, mengundang komentar Prof. Sulfikar Amir, dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura.
“Sangat-sangat menarik. Mas AHY menyentuh beberapa isu krusial seperti pandemi, kualitas demokrasi yang menurun, efek disrupsi hingga buzzer,” Kata Prof. Sulfikar, yang lahir dan besar di Makassar.
Menurutnya, AHY sudah benar mengatakan mengenai resiliency (daya tahan), sebagai kapasitas yang harus dimiliki oleh suatu bangsa seperti Indonesia.
Ketua Associate Professor of Science, Technology and Society ini melanjutkan, akan menarik jika soal resiliensi ini bisa diperkuat melalui peran-peran institusi karena di sini domain-nya Demokrat sebagai partai politik.
Prof. Sulfikar mengingatkan, “Dalam gambar besarnya, resiliensi mencakup bagaimana kita berpolitik, bagaimana demokrasi disusun, bagaimana proses pembuatan kebijakan dilakukan, bagaimana partisipasi publik itu didorong dan lain-lain.”
Sementara pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai pidato Ketum AHY ini cukup berbeda dengan pidato Ketum-ketum parpol lain sebelumnya. “Sebagai partai non pemerintah, wajar jika pidato AHY ini bernada cukup tajam. Kalau tidak kritis, apa bedanya PD dengan partai-partai koalisi pemerintah?,” ungkap Ubedilah.
Secara khusus, salah satu mantan pemimpin gerakan mahasiswa tahun 1998 ini menyoroti bagian pidato AHY yang mempertanyakan mengapa kritik terhadap pemerintah selalu dianggap sebagai lawan.
“Jadi betul kata mas AHY bahwa pada dasarnya kita ingin rakyat selamat. Itulah sebabnya berbagai elemen masyarakat sipil mengkritik dan memberi masukan pada Pemerintah. Apalagi kita tahu penanganan Covid-19 kacau balau, demikian pula dengan pemulihan ekonomi yang perlu dikritisi karena ada uang rakyat di situ,” ujar Ubedillah.
Karena dalam pemerintahan yang demokratis, dia mengemukakan, kritik merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jangan dianggap sebagai lawan, apalagi kemudian dihadapi dengan bullying, represi, bahkan diburu seperti penjahat. (KAF)