Mengharapkan perdamaian dan kehidupan normal di tanah Palestina sepertinya masih menjadi mimpi panjang tak berujung. Bagaimana tidak disaat umat muslim bersiap menyambut hari raya idul fitri 1442 H tahun ini, serangan roket dan pengeboman dilancarkan pasukan Israel meratakan belasan bangunan di Gaza termasuk tak ketinggalan pula komplek Masjidil Aqsha yang kerap menjadi sasaran serangan pasukan polisi Israel.
Perang roket dan tembakan antara militer Israel dan Hamas pun tak terhindarkan. Serangan dan pengeboman Israel selama 11 hari di Gaza menewaskan sedikitnya 248 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak, dan membawa kerusakan luas ke wilayah yang sudah miskin itu. Di pihak Israel, 12 orang, termasuk dua anak, tewas. (cnbcindonesia.com/22/06/2021)
Upaya diplomasi yang kerap menjadi metode tunggal dalam merespon serangan kekerasan Isrel atas Palestina kembali diserukan dalam hubungan lintas negara Islam hingga organisasi tingkat dunia PBB. Alhasil pada jumat dini hari 21/06/2021 gencatan senjata tercapai melalui mediasi Mesir.
Euforia kegembiraan warga Palestina pun sempat pecah menyambut gencatan senjata ini sekaligus menjadi klim kemenangan Hamas atas Israel. Namun sayangnya ketegangan di wilayah Yerusalem Timur terjadi kembali, penembakan gas air mata dilakukan oleh polisi Israel di kompleks Masjidil Aqsha pada siang di hari yang sama saat umat muslim sedang melaksanakan ibadah sholat jumat. Gencatan senjata seolah hanya dianggap masa istirahat sementara bagi Israel untuk mempersiapkan serangan serangan selanjutnya yang mungkin lebih besar lagi.
Sudah kesekian kalinya Israel mencederai upaya perundingan dan kesepakatan perdamaian yang terjalin dengan Hamas selama ini. Solusi rapuh dalam gencatan senjata tak kan mampu bisa diharapkan lagi meredakan ketegangan di wilayah pendudukan Yerusalem Timur apalagi menjadi perisai dan jaminan keamanan bagi warga Gaza Palestina.
Selama pendudukan ilegal yang dilakukan Israel dibiarkan terjadi di Gaza yang menjadi hak penuh warga Palestina. Tindakan perampasan wilayah dan pengusiran warga gaza oleh Israel terus berlangsung walau mendapat kecaman dari mayoritas negara di dunia dan negara muslim khususnya. Selama ijin pendudukan ini tidak dicabut dan Israel tidak diusir secara tegas dari Palestina maka penderitaan warga Gaza Palestina menghadapi serangan dan perampasan tanah mereka tak akan berhenti.
Perlu langkah lebih berani dari sekedar diplomasi dan solusi rapuh gencatan senjata dari pemimpin negara negara muslim dunia dalam merespon sikap arogansi Israel yaitu pergerakan militer dari negara negara Islam dalam satu komando perang untuk mengusir dan menghentikan kependudukan Israel di Palestina. Namun tentu saja hal ini akan sulit diwujudkan saat ini. Karena berbagai faktor dalam kesepakatan internasional sangat membelit langkah negara muslim untuk membela secara militer kepada saudaranya seaqidah di Gaza Palestina.
Melawan etintas Yahudi Israel yang hanya berjumlah 15jt sangat lebih kecil dari penduduk muslim dunia menjadi sulit sekali dilakukan. Jangankan dalam forum regional dan bilateral, kesepakatan bersama seluruh negara yang menyetujui penghentian pendudukan Israel di forum tinggi PBB kerap dimentahkan oleh hak veto Amerika Serikat. Dukungan negara adidaya bagi Israel juga menjadi penghambat utama dalam penyelamatan Palestina dari serangan Israel selama ini.
Padahal sejarah panjang kejayaan Islam pernah melahirkan pemimpin peminpin tangguh yang berkomitmen penuh mempertahankan tanah Palestina dan melindungi warganya dari serangan Yahudi . Salah satunya adalah Khilafah Sultan Abdul Hamid II, beliau mengingatkan bahwa merupakan bahaya yang sangat besar dengan dibukanya Tanah Palestina untuk Yahudi. Pada tahun 1882, dengan keberaniannya pemerintah Khilafah mengeluarkan dekret yang melarang didirikannya pemukiman permanen Yahudi di Palestina, sekaligus menolak izin perpindahan bangsa Yahudi ke Palestina.
Tokoh zionis Theodor Herzl pada saat itu berusaha membujuk Sultan Abdul Hamid II agar mau mengizinkan kedatangan imigran Yahudi ke Palestina. Pada tahun 1902, delegasi Herzl mendatangi Sultan Abdul Hamid II. Mereka menyodorkan sejumlah tawaran seperti: (1) Memberikan hadiah sebesar 150 juta Pound sterling untuk pribadi Sultan; (2) Membayar semua utang pemerintah Turki Utsmani yang mencapai 33 juta Pound sterling; (3) Membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank; (4) Memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Pound sterling; dan (5) Membangun sebuah universitas Utsmani di Palestina. Namun, semua tawaran itu ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II.
Sultan pun berkata kepada Herzl, “Sesungguhnya, saya tidak sanggup melepaskan kendati hanya satu jengkal Tanah Palestina. Sebab tanah ini bukan milik pribadiku, melainkan milik kaum muslim. Mereka telah berjuang untuk memperolehnya dengan darah mereka. Silakan Yahudi menyimpan kekayaan mereka yang miliaran itu. Jika pemerintahanku ini tercabik-cabik, saat itu baru mereka dapat menduduki Palestina dengan gratis. Adapun jika saya masih hidup, meskipun tubuhku terpotong-potong, maka itu adalah lebih ringan daripada Palestina terlepas dari pemerintahanku.”
Ketika Khilafah runtuh pada 1924 melalui tangan agen Inggris keturunan Yahudi, Mustafa Kemal, Yahudi dengan segera mulai mendekati Palestina, hingga berani melakukan perampasan dan serangan serangan penghancuran di bumi Gaza Palestina. Derita Palestina tak pernah usai karena tak lagi memiliki perisai.
Problem krisis Palestina hanya bisa diselesaikan dengan menghapus eksistensi entitas Israel Zionis dari tanah kharajiyah Palestina. Tidak cukup bagi negara negara muslim hanya sibuk mengecam dan mengutuk aksi brutal Israel tanpa sedikit pun kemauan menurunkan aksi secara militer, padahal mampu mengupayakan pengiriman militer mereka.
Jelas sekali, pembelaan terhadap Palestina membutuhkan kesatuan kekuatan politik dan militer seluruh negeri Islam. Komando perang Khilafah saja yang mampu membuat Israel berhenti menyerang dan menduduki tanah suci Palestina bumi para Nabi. Wallahua’lam