Di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir, gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan diselenggarakan pada bulan Desember 2020. Berbeda dengan Pilkada sebelumnya, tahun ini kaum perempuan semakin menonjol kiprahnya untuk menjadi pejabat daerah termasuk Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari tiga pasang calon, dua kandidat bupati adalah perempuan, yaitu Kurnia Agustina dan Yena Iskandar Ma’soem. Bahkan keberadaan mereka mengundang komentar ahli tentang daya saing wanita dan pria.
Pengamat politik dari Universitas Katholik Parahyangan Asep Warlan, menganggap peluang pasangan calon laki-laki lebih besar untuk menang dibandingkan wanita. Hal ini dikarenakan tradisi di Kabupaten Bandung yang lebih cenderung memilih kandidat laki-laki dibanding perempuan. Ia pun menganggap Kabupaten Bandung dengan wilayah yang luas lebih cocok dipimpin oleh laki-laki, “Kabupaten Bandung, wilayahnya sangat luas dan banyak tantangannya. Oleh karena itu laki-laki lebih pantas untuk duduk sebagai kepala daerah di Kabupaten Bandung,” kata Asep saat dihubungi oleh jabarnews.com, Selasa (3/11/2020).
Tampaknya, tradisi kepemimpinan Kabupaten Bandung yang biasanya dipimpin oleh laki-laki akan coba digeser dengan adanya calon berjenis kelamin wanita. Rayuan maut bernama feminisme yang lahir dari konsep hak asasi manusia dan kesetaraan gender telah membutakan mata masyarakat terlebih kaum perempuan yang jelas-jelas akan menimbulkan madharat di kemudian hari. Perempuan didorong untuk terjun ke ranah publik hingga terlibat dalam pengambilan keputusan di legislatif ataupun eksekutif. Maka tidak aneh bila partai-partai besar saat ini mendukung perempuan mengikuti kontestasi pesta demokrasi. Demokrasi memang memberi peluang kepada siapa pun untuk menjadi kepala daerah asalkan memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundangan. Peran perempuan dalam politik khususnya Pilkada menjadi pembuktian bahwa demokrasi benar-benar menjadi angin segar bagi kaum feminis untuk menunjukkan eksistensinya.
Dalam sistem demokrasi kapitalis, posisi wanita dan laki-laki dalam politik kini telah dianggap setara. Akan tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah kepemimpinan wanita ini memberikan dampak pada kesejahteraan rakyat terlebih lagi pencalonan diri dalam sistem ini berbiaya mahal. Sudah menjadi rahasia umum siapa pun yang mengikuti pemilihan harus mengeluarkan dana besar, tidak jarang mereka harus menerima sumbangan dari sponsor untuk dana kampanye. Akhirnya, setelah terpilih mereka dituntut untuk mengembalikan dana atau melayani kepentingan sponsor.
Kepemimpinan wanita dalam politik pemerintahan sedikit banyak akan menyita waktu. Tuntutan tugas mengharuskan wanita berinteraksi dengan seluruh lapisan masyarakat dengan rela mengorbankan keluarga di rumah. Hal ini tentu akan berakibat terlalaikannya tugas utama sebagai pengatur urusan rumah tangga.
Berbeda dengan Islam yang telah mengatur tata kehidupan laki-laki dan perempuan dengan pengaturan yang sesuai dengan fitrah termasuk di dalamnya aktivitas berpolitik. Allah Swt. telah menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan yang menjalankan ketaatan akan mendapatkan pahala yang sama.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami berikan padanya kehidupan yang baik.” (TQS. An-Nisa: 97)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal-amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (TQS. Ali Imran:195)
Allah Swt. telah membagi hukum-hukum yang bersifat khusus bagi laki-laki dan perempuan. Allah Swt. menetapkan bahwa hukam (penguasa) ada di tangan laki-laki tidak di tangan perempuan. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkn urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Kitab Nailul Authar, 8/305, “Di dalamnya terdapat dalil bahwa seorang wanita tidak berhak menduduki kepemimpinan dan tidak boleh bagi masyarakat untuk mengangkatnya karena mereka harus menghindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan mereka tidak beruntung.”
Ibnu Hazm rahimahullah berkata saat membicarakan masalah kepemimpinan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan seorang pun bahwa masalah ini tidak dibolehkan bagi seorang wanita.” (Al-Fash Fil Milal Wal Ahwa Wan-Nihal, 4/129)
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (21/270) disebutkan, “Para ahli fiqih sepakat bahwa di antara syarat seorang pemimpin besar adalah laki-laki. Tidak boleh kepemimpinan diserahkan kepada perempuan. (Jika pemimpin laki-laki) akan memungkinkan baginya berinteraksi dengan laki-laki, total dalam mengendalikan urusan dan karena umumnya kedudukan ini menuntut kerja keras dan kekuatan fisik, itu semua cocok bagi laki-laki.”
Akan tetapi, larangan wanita menjadi penguasa tidak lantas menjadikan wanita tidak memiliki peran dalam membangun peradaban. Islam telah menetapkan bahwa hukum asal wanita adalah ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengantur urusan rumah). Peran ini adalah peran yang sangat penting, masa depan umat tergantung pada pembentukan kepribadian anak. Dapat dibayangkan bila tidak ada wanita yang mengurusi dan mendidik anak-anak. Masa depan suatu peradaban akan hancur bila tidak ada generasi penerus yang handal. Rasulullah saw. bersabda:
“…..Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR. Muslim)
Secara umum, wanita memiliki kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, termasuk melakukan muhasabah (koreksi) pada penguasa sama seperti laki-laki. Hal ini dicontohkan oleh generasi sahabat, dimana wanita dapat melakukan koreksi pada Khalifah. Imam Al Qurthubi menceritakan pada suatu hari pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah, Amirul Mukminin pernah berjumpa dengan seorang perempuan di jalan. Saat itu, Umar diiringi banyak orang yang menunggang kuda. Perempuan itu memintanya berhenti. Umar pun berhenti. Dinasihatilah Umar oleh perempuan itu.
Ia berkata, (amal), maka ia pasti takut kepada siksa.” “Hai Umar, dulu kau dipanggil Umair (Umar kecil), kemudian engkau dipanggil Umar, kemudian engkau dipanggil Amirul Mukminin, maka bertakwalah engkau, hai Umar. Karena barang siapa yang meyakini adanya kematian, ia akan takut kehilangan kesempatan. Dan barang siapa yang meyakini adanya perhitungan
Umar bin Khattab menyimak nasihatnya sambil berdiri. Hingga setelah beberapa waktu, ada seorang yang bertanya kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau mau berdiri seperti itu untuk mendengarkan wanita tua renta ini?”
Umar menjawab, “Demi Allah, kalau sekiranya beliau menahanku dari permulaan siang hingga akhir siang, aku tidak akan bergeser kecuali untuk shalat fardhu. Tahukah kalian siapa perempuan renta ini?”
“Dia adalah Khaulah binti Tsalabah. Allah mendengar perkataannya dari atas tujuh langit. Apakah Tuhan seluruh alam mendengarkan ucapannya, tetapi lantas Umar tidak mendengarkannya?”
Demikianlah peran perempuan dalam peradaban dan politik Islam. Peran yang Allah Swt. tetapkan, sangat proporsional dan sesuai dengan fitrah. Umat Islam telah menerapkan hal tersebut selama berabad-abad lamanya. Peradaban berkembang secara baik, kemajuan ekonomi, teknologi, dan militer terwujud secara sempurna. Hal itu karena keberhasilan yang dicetaknya adalah generasi handal, dan tempat mencetaknya dimulai dari rumah, dari seorang ibu yang shalihah. Wallahu a’lam bi ash shawwab.