Damai Hari Lubis (Ketua KORLABI/ Koordinator Pelaporan Bela Islam)
JAKARTA || Bedanews.com – MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah otoritas agama Islam tertinggi di Indonesia, karena MUI merupakan sebuah organisasi kelembagaan yang memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa dan memberikan pedoman tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Islam, antara lain keuangan Islam, sertifikasi halal dan pendidikan agama.
Keputusan dan fatwanya sangat dihormati dan berpengaruh di kalangan penduduk Muslim Indonesia, karena anggota MUI diisi oleh para individu yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam teologi Islam, hukum nasional dan termasuk yurisprudensi.
Sehingga secara keseluruhan, peran MUI adalah otoritas dibidang keagamaan, yang tentunya Indonesia sebagai negara republik yang penduduknya mayoritas muslim, maka dapat dipastikan pengaruhnya amatlah besar dan otomatis menjadikan MUI sebagai lembaga penting. Selain sebagai pengawal bagi penduduk yang menganut agama Islam. Tentu mutatis mutandis kiprah MUI sebagai pemberi edukasi dan pembimbing bagi penganut agama Islam, serta sebagai penjaring kader-kader terbaik pemberi solusi bagi masalah keagamaan (Islam) pada tingkat nasional dan tentu berhubungan dengan dunia Islam disebabkan ummat muslim atau Islam dan hukumnya merupakan aturan tak terpisah (kolektif dan kolegial) dengan muatan dunia internasional.
Sejarah MUI yang berdiri pada 26 Juli 1975 di Jakarta. Diawali pertemuan musyawarah antara para ulama, aktivis (zuama), dan para aghniya (orang-orang kaya) dan cendekiawan muslim dari seluruh Indonesia.
Adapun visi yang diemban oleh Majelis Ulama Indonesia adalah “Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi dari para ulama, para zuama, para aghniya (orang-orang kaya) dan cendekiawan muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam (izzu al-Islam Wa al-Muslimin) serta perwujudannya.
Dengan demikian posisi Majelis Ulama Indonesia adalah berfungsi sebagai Dewan Pertimbangan Syariah Nasional, guna mewujudkan Islam yang penuh rahmat (rahmat li al-alamin) di tengah kehidupan umat manusia dan masyarakat Indonesia.
Sedangkan misi yang diemban oleh Majelis Ulama Indonesia adalah:
“Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif, sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, dan menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat yang baik bagi seluruh ummat manusia atau khair al-ummah.”
Kesimpulannya, eksistensi lembaga MUI sebagai Lembaga organisasi Majelis dari Para Ulama Indonesia, memperkuat pondasi ummat muslim karena sejarah berdirinya, berikut visi dan misi, sebagai representatif para tokoh ulama, aktivis atau pergerakan dan para cendikiawan, yang bersepakat membimbing, membina, dan mengayomi seluruh kaum muslimin di tanah air, dengan kata lain konsentrasi visi misi MUI adalah membantu mencari solusi atas permasalahan yang berkaitan dengan keumatan, termasuk permasalah baru yang sifatnya kekinian.
_Nah_ kekinian dimaksud jika dihubungkan dengan problematika kepemimpinan nasional saat ini yang nyata bangsa ini sedang dalam proses mencari figur presiden, dari bangsa yang mayoritas muslim, namun dalam pencaharian sosok presiden dimaksud terjadi kendala serius, yaitu proses kecurangan pemilu pilpres 2024 yang secara telanjang mata, bahkan serasa disengaja, karena mudah terlihat oleh ummat, karena selain si terduga kecurangan sendiri adalah Jokowi pemimpin pemerintahan tertinggi negara ini, yang seharusnya berlaku netral, malah dengan pongah mengakui dirinya akan cawe-cawe atau keberpihakan, dan lacur dan tragisnya, cawe-cawe atau intervensi berikut perilaku kecurangan ini dilakukan secara konspirasi dengan KPU, selaku penyelenggara Pemilu serta pengawas penyelenggara Pemilu (Bawaslu), bahkan peserta kontes yang juga merupakan seorang penguasa (Pejabat Publik) turut serta dalam kecurangan dan segala bentuk kecurangan ini dibiarkan terjadi (Pembiaran) oleh Jokowi selaku Presiden RI. Sehingga kecurangan atau pelanggaran pemilu pilpres ini dilakukan secara TSM. (Terstruktur, Sistematis dan Masiv).
Maka, mengingat dan menimbang MUI sebagai Wadah yang isinya Para Ulama yang note bene memiliki visi berfungsi sebagai panutan menuju atau mendapatkan kondisi kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang baik dan misi-nya untuk membimbing, membina, dan mengayomi ummat muslim untuk membantu mencari solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan keumatan, termasuk permasalahan baru yang kekinian dialami oleh ummat atau yang muncul, berkembang dan berlangsung.
Bahwa sekalipun pasangan kontestan bakal Presiden dan bakal Wapres, Prabowo – Gibran, keduanya beragama Islam, dan terindikasi kuat oleh publik telah melakukan konspirasi kecurangan dalam proses tahapan pemilu dan hasil penghitungan suara pemilu (pilpres/ pileg), maka MUI tidak menyalahi atau bukan kekeliruan, bahkan merupakan kewajiban bagi MUI untuk segera fungsikan kewenangannya dengan pola, mengeluarkan fatwa melarang ummat menerima atau tunduk dipimpin oleh sosok bakal pemimpin muslim namun cacat, sesuai track record atau biografi, atau MUI segera terbitkan surat himbauan atau keputusan yang ditujukan kepada ummat muslim bangsa ini, agar ummat wajib menolak hasil pemilu curang serta mengajak ummat turun ke jalan (Masiroh Kubro) demi menolak pasangan kontestan pilpres curang dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Setidak atau sekurangnya fungsikan prinsip utama setiap diri seorang Muslim (terlebih ulama) yakni AMARMA’RUF NAHIMUNKAR.
_Adapun andaikan MUI. Tidak acuh, atau masa bodo terhadap jatidiri (attitude leadership) bakal Presiden RI. Maka pastinya missi MUI untuk mewujudkan masyarakat yang baik bagi seluruh ummat manusia atau khair al-ummah, Para Ulama sudah terkontaminasi penyakit retorika atau demam dunia ._