KAB. BANDUNG || bedanews.com — Anggota Baperpemda DPRD Kabupaten Bandung, H. Dasep Kurnia Gunarudin, mengkritisi Perda nomor 6 tahun 2021, tentang Kemudahan Perlindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro, yang dianggapnya belum dilaksanakan, dan banyak menyalahi peraturan-peraturan yang mengakibatkan para pelaku usaha mikro tidak tersentuh.
“Padahal di dalam perda tersebut ada dijelaskan 40 persen dari belanja barang dan jasa diperuntukkan bagi pelaku usaha mikro,” kata legislator dari Fraksi PKS DPRD Kabupaten Bandung, Jum’at 18 November 2022.
Salah satu contoh, ia menggambarkan, di Pasar Soreang tidak ada yang mengisi stand yang sebelumnya dari pelaku usaha mikro, semuanya dikuasai pelaku usaha makro. Jadi perda itu lebih bersifat formalitas karena tidak ada keberpihakan pada warga miskin.
Mengenai pengawasan perda itu sediri, diakuinya, masih lemah. Baik itu dari eksekutif maupun legislatif tidak ada sama sekali. Sehingga pelanggaran itu seolah-olah dibiarkan terjadi begitu saja.
Seandainya Perda itu diimplementasikan dengan baik dan sesuai dengan peruntukkannya, ia meyakini, perekonomian warga miskin di Kabupaten Bandung akan terdongkrak. Dengan demikian untuk kehidupannya pun bisa sejahtera. Tapi kenyataan dilapangan warga miskin semakin terpuruk.
Selain itu, ia mengasumsikan, dengan menjalankan perda dengan benar dan tepat sasaran, ada kemungkinan warga miskin tidak lagi terjerat Renternir dan Bank Emok. Sebab bantuan dana bergulir tanpa bunga yang tengah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bandung untuk mendongkrak perekonomian warga miskin. Justeru menimbulkan kecemburuan sosial.
“Bantuan sebesar Rp2 juta itu cukup untuk apa kalau dipikirkan secara logika, saya tegaskan tidak akan pernah mencukupi apalagi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” ungkapnya.
Solusi dari permasalahan itu, dikemukakan Dasep, sebenarnya sudah ada di dalam perda tadi. Hanya pelaksanaannya saja yang belum dilakukan sama sekali. Sehingga lebih cenderung bersifat formalitas semata karena tidak ada upaya untuk melaksanakannya.
Pada perda itu disebutkan, dari total belanja dan jasa yang sebesar Rp3 triliun lebih diperuntukkan 40 persen untuk pelaku usaha mikro. Itu sebenarnya solusi yang sebenarnya sudah ada tapi hingga saat ini belum dilaksanakan.
Ada dua kategori untuk mengetahui hal tersebut, apakah perda itu “Tidak Dilaksanakan” atau “Belum Dilaksanakan”, lanjutnya, masih belum ada kepastian karena perda tersebut baru disahkan pada tahun 2021 kemarin. Biasanya setelah satu tahun baru diketahui mengenai pelaksanaan perda itu.
“Namun yang saya rasakan setelah melakukan kunjungan secaran pribadi, perekonimian warga miskin tidak ada perubahan sama sekali. Mereka masih tetap miskin dan masih terjerat hutang renternir atau bank emok,” ujarnya.
Ia mengusulkan, bila dikaji dengan seksama mengacu dari Perda no 6 itu, lebih baik bantuan itu dihibahkan saja juga ditambahkan anggaran yang sudah tercatat melalui peraturan yang sudah disahkan, yaitu 40 persen untuk usaha mikro. Insya Alloh bantuan itu bisa mendongkrak usaha mikro warga miskin.
“Jadi saya tegaskan, kalau Perda nomor 6 tahun 2021 dilaksanakan dengan baik, tidak akan ada lagi warga miskin karena sudah dibantu oleh Pemkab Bandung. Dan itu merupakan sebuah prestasi yang luar biasa,” pungkasnya.***