Oleh: A. Rusdiana
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum [30]:41)
Ayat ini seakan hidup kembali saat banjir bandang dan longsor melanda Sumatra akhir November 2025. Bencana yang menelan tidak kurang dari 442 korban jiwa, ratusan hilang, dan ratusan ribu mengungsi bukan sekadar peristiwa alam; ia adalah cermin dari hubungan manusia dan alam yang makin jauh dari keseimbangan. Kerusakan yang tampak hari ini adalah buah dari pilihan-pilihan yang kita biarkan berjalan tanpa etika ekologis, tanpa kebijaksanaan, dan ini yang paling penting tanpa pendidikan yang menanamkan cinta pada bumi.
Bencana yang Tak Lagi “Alamiah”
Kita terlalu sering berlindung di balik istilah “hujan ekstrem”, “anomali monsun”, atau “siklon tropis”. Padahal, itu hanya pemicu. Yang membuat bencana menjadi mematikan adalah ekologi yang rapuh: lahan gundul, tata ruang yang dilanggar, bukit yang dibelah, sungai yang dipersempit, dan regulasi yang lebih akrab dengan investor dibanding masa depan. Di sinilah relevansi QS. Al-A’raf [7]:56: “Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya…” Kerusakan ekologis kita hari ini bukan terjadi “tiba-tiba”, melainkan akumulasi dari pola eksploitasi yang berlangsung lama dan dilegalkan oleh kebijakan.










