Oleh: Lilis Sulastri
(Guru besar Ilmu Manajemen FEBI UIN SGD Bandung)
Setiap tanggal 20 Mei, gema kebangsaan bergema di berbagai penjuru negeri. Sekolah-sekolah menggelar upacara, lembaga negara menyampaikan pesan kebangsaan, dan media massa menayangkan kilas balik sejarah berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908 sebagai simbol lahirnya kesadaran nasional. Namun, di balik peringatan ini, muncul pertanyaan penting: apakah “kebangkitan bangsa” yang kita rayakan ini benar-benar hadir dalam kenyataan, atau hanya menjadi ritual simbolik yang kehilangan makna? Apakah kita sedang bangkit, atau hanya merasa bangkit?
Lebih dari satu abad setelah kebangkitan nasional pertama, kita hidup dalam dunia yang sangat berbeda. Ini bukan hanya era digital, tetapi era transisi peradaban, di mana cara kita berpikir, hidup, dan berinteraksi telah berubah secara radikal. Maka, kebangkitan bangsa hari ini tidak cukup jika hanya dimaknai secara historis. Ia harus diredefinisi ulang sebagai kebangkitan nilai, akal sehat, dan kesadaran peradaban.