Jakarta – bedanews.com – Frontiers, sebuah jurnal yang berbasis di Swiss menerbitkan hasil akhir uji klinis fase I dan II vaksin sel dendritik atau Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto.
Jurnal tersebut berjudul “Keamanan dan kemanjuran vaksin sel dendritik untuk pencegahan Covid-19 setelah 1 tahun tindak lanjut: Hasil akhir uji klinis fase I dan II”.
Disebutkan, jurnal tersebut dipublikasikan Frontiers in Immunology pada 19 Juni 2023. Hasilnya, Vaksin Nusantara dinyatakan aman dan manjur.
Uji klinis fase I dan II vaksin sel dendritik atau Vaksin Nusantara diamati selama satu tahun.
“Analisis sementara dari uji coba klinis fase I dan II vaksin yang dipersonalisasi menggunakan sel dendritik turunan monosis autologus (DCs) yang diinkubasi dengan S-protein SARS-CoV-2 menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan dapat ditoleransi oleh
tubuh dengan baik,” tulis jurnal tersebut, dikutip Rabu (21/6).
Jurnal tersebut menulis, dari analisis penelitian sebelumnya membuktikan Vaksin Nusantara dapat
menginduksi respons sel T dan sel B secara spesifik terhadap SARS-CoV-2.
“Sedangkan pada laporan ini, hasil uji coba lanjutan yang dilakukan selama setahun menunjukkan adanya keamanan dan kemanjuran vaksin pada subjek uji klinis fase I dan fase II,” ujarnya.
Dijelaskan, sebanyak 28 subjek dalam uji klinis fase I secara acak dimasukkan ke dalam sembilan kelompok berdasarkan dosis antigen dan Granulocyte-Macrophage Colony Stimulating
Factor (GM-CSF).
Dalam uji klinis fase II, 145 subjek dikelompokkan secara acak menjadi tiga kelompok berdasarkan dosis antigen.
Selama periode tindak lanjut 1 tahun, sebanyak 35,71 persen subjek pada fase I dan 16,54 persen pada fase II memiliki AE non-COVID.
“Tidak ada subjek pada fase I yang mengalami COVID-19 sedang hingga berat. Sementara itu, 4,31 persen subjek pada fase II mengalami COVID-19 sedang hingga berat. Tidak ada perbedaan AE COVID dan non-COVID-19 antar kelompok,” jelasnya.
Menurut jurnal itu, para penulis menyatakan bahwa penelitian ini dilakukan tanpa adanya hubungan komersial atau keuangan yang dapat ditafsirkan sebagai potensi konflik kepentingan.
“Uji klinis fase III yang melibatkan lebih banyak subjek harus dilakukan untuk menetapkan kemanjurannya dan melihat kemungkinan efek samping lainnya,” tandasnya. (Red).