Oleh : Dra. Hj. Ummi Salma
BEDAnews.com – Ungkapan populer yang menggambarkan penegakan hukum di negeri ini adalah ‘laksana pisau dapur yang tumpul ke atas, tajam ke bawah’. Keadilan bagi rakyat kecil semakin langka dan kalaupun ada mahal harganya.
Sedangkan bagi mereka yang memiliki kepentingan, kedudukan, jabatan ataupun memiliki uang, keputusan bisa diatur dan dipertimbangkan sesuai dengan kesepakatan.
Alih-alih mendapatkan sanksi berat, justru tidak sedikit pelaku kejahatan besar, mendapatkan sanksi ringan atau bahkan bebas tanpa syarat, dibandingkan dengan pelaku lainnya yang secara fakta kejahatannya lebih ringan.
Beberapa fakta ‘keanehan’ dalam proses pengadilan dapat kita saksikan di negeri ini. Contoh kasus pembunuhan Brigadir J, dengan tersangka utama Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo hingga kini masih belum tuntas. Beredar di media sosial, berbagai ungkapan dari masyarakat yang berisi cacian dan makian terkait tuntutan hukum terhadap para tersangka.
Tuntutan ini terkesan aneh dan tidak adil. Di mana logikanya tersangka utama, yang menjadi dalang pembunuhan, dituntut 8 tahun penjara, sementara Bharada RE, justru dituntut 12 tahun penjara. Ini pula balasan atas kejujurannya mengungkap kasus yang sesungguhnya. Publik sudah mengetahui bahwa Bharada RE adalah korban perintah komandan, sebagai bentuk ketaatannya kepada atasan, dia melakukan penembakan.
Belum puas publik dengan keputusan kasus pembunuhan Brigadir J, muncul kembali kasus kecelakaan lalu lintas yang menimpa seorang mahasiswa UI dengan inisial HAS yang tewas pada saat kejadian. Ironinya HAS sebagai korban tewas, malah menjadi tersangka dengan tuduhan tabrak lari. Sungguh sulit diterima akal sehat.
Apakah karena peristiwa ini melibatkan seorang purnawirawan Polri, AKBP Eko Setio Budi Wahono? Atau karena ada unsur lain? Hal yang menjadi perhatian dan sorotan publik adalah pada saat HAS sebagai korban sekaligus menjadi tersangka.
Kabar terbaru, disampaikan melalui pengacara keluarga HAS bahwa kasus ini cacat hukum. Kasusnya sudah dihentikan. Sekalipun demikian masyarakat sudah terlanjur mendapatkan berita tentang ketidakadilan yang diterima oleh keluarga HAS. Lagi-lagi pertanyaannya, dimanakah letak keadilan ini?
Terkait kasus ini Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang, dalam siaran persnya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu, 28 Januari 2023, mengatakan, “Bagi kami fenomena ini seperti Sambo jilid dua, kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji. Kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan” (MMC,31 /1/2023).
Menyikapi berbagai kasus hukum yang ada, masyarakat semakin merindukan adanya keputusan yang adil. Masyarakat sudah jenuh melihat drama kepalsuan dalam kasus keadilan ini. Sayangnya, dalam sistem hidup sekularisme kapitalisme, keadilan akan sangat sulit terwujud.
Sistem ini telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada manusia untuk membuat hukum sendiri. Hal ini sangat berpeluang proses hukum bisa tarik ulur, bisa diotak-atik sesuai dengan kepentingan.
Akidah sistem kapitalis sekuler adalah memisahkan agama dari kehidupan yang pada akhirnya memisahkan agama dari pengaturan negara. Jadi hukum dibuat, disusun, ditetapkan serta diputuskan berdasarkan sudut pandang masing-masing.
Bagaimana pandangan Islam dalam masalah hukum dan peradilan ini? Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab As-Siyasah Asy-syar’iyyah halaman 15 bahwa yang dimaksud keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan Al-Quran dan Sunah.
Hukum syara menjadi standar (miqyas) dalam mengambil keputusan. Pada saat ada pelanggaran hukum syara di tengah masyarakat serta pelanggaran itu bisa membahayakan hak masyarakat (jamaah), maka akan diselesaikan melalui proses peradilan. Landasan peradilan dalam Islam adalah QS. Al-Ma’idah, artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil” (TQS Al Maidah:8).
Ketetapan sanksi hukum kadarnya telah ditetapkan berdasarkan syara dan bersifat mutlak, tidak bisa dipengaruhi oleh pihak manapun.
Pelanggaran hukum syara bisa meliputi hudud (pelanggaran terhadap hak-hak Allah), jinayat (pelanggaran terhadap hak-hak manusia), ta’zir (sanksi hukum yang kadar sanksinya belum ditetapkan oleh Syari’, ketetapan hukumnya diserahkan kepada khalifah), ataupun mukhalafat (pelanggaran terhadap perintah dan larangan yang telah ditetapkan oleh negara).
Jadi, jika kita menilik kasus pembunuhan Brigadir J. ataupun kasus HAS yang tewas tertabrak kemudian menjadi tersangka, jika dihukumi dengan sanksi Islam sangat mudah mendapatkan keadilan. Keduanya masuk ke dalam jenis pelanggaran jinayat.
Kasus pembunuhan Brigadir J. terkategori pembunuhan disengaja. Sanksinya jelas yaitu hukum qishaash untuk pelakunya, jika wali orang yang terbunuh tidak memaafkan. Apabila ada pengampunan, maka diyat-nya harus diserahkan kepada walinya, kecuali jika mereka ingin bersedekah (tidak menuntut diyat). Sedangkan kasus HAS bisa terkategori pembunuhan tersalah (tidak disengaja).
Islam menetapkan sanksi hukum kasus HAS bagi pelakunya adalah menyerahkan diyat berupa 100 ekor unta, dan harus membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika tidak menjumpai budak maka ia harus berpuasa 2 bulan berturut-turut (Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam, hal.129 dan hal. 146, Abdurahman Al Maliki).
Proses hukum dalam Islam tidak mengenal peradilan banding, peninjauan kembali, dan sebagainya. Proses hukum akan berjalan cepat, tidak bertele-tele, apa lagi ditunda-tunda keputusannya. Selain itu, keputusan pengadilan bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Inilah sedikit gambaran sanksi hukum dalam Islam. Hanya dalam sistem Islam keadilan akan didapat.
Wallahu a’lam bi ash shawwab**