Penulis: Agusto Sulistio
JAKARTA || Bedanews.com – Penahanan Eggi Sudjana pada Mei 2019 merupakan salah satu kasus yang membuka diskusi penting tentang penegakan hukum, hak asasi manusia (HAM), dan demokrasi di Indonesia. Bermula dari pernyataan “people power” pada 17 April 2019 di depan kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Eggi mengkritik dugaan kecurangan dalam pemilu 2019 yang melibatkan pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf. Eggi menekankan bahwa, seruan tersebut bukan kritik kepada presiden sebagai kepala pemerintahan, melainkan bentuk protes atas pelaksanaan pemilu yang dianggap tidak adil.
Selain Eggi, tokoh Tionghoa, almarhum Lieus Sungkarisma, juga ditahan atas tuduhan makar dalam laporan terpisah. Kedua kasus ini menarik perhatian luas, termasuk dari Prabowo Subianto dan tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) yang hadir ke Polda Metro Jaya pada 15 Mei 2019 untuk membesuk keduanya, meskipun kunjungan mereka ditolak. Dalam proses hukumnya, Tim Pemenangan Prabowo berhasil mengajukan penangguhan penahanan untuk Eggi.
Meski demikian, pada November 2024, Eggi mengungkapkan bahwa, ia masih berstatus tersangka, yang menunjukkan belum ada kepastian hukum dalam kasus yang telah berlangsung lebih dari lima tahun ini.
Pada saat itu, Fadli Zon, yang kini menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dalam Kabinet Merah Putih di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran, turut mengkritik tuduhan makar tersebut, menegaskan bahwa kebebasan berpendapat harus dijamin dalam demokrasi tanpa adanya abuse of power. “Kalau tuduhan makar, makarnya di mana? Apa yang dilakukan? Kalau ucapan itu bukan makar, orang berpendapat itu juga bukan makar,” Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14 Mei 2019).
Pada Pilpres 2024, kasus serupa muncul ketika sejumlah tokoh pendukung Ganjar dan Anies menyuarakan “people power” dan “revolusi” sebagai bentuk protes atas dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024 yang diduga melibatkan pasangan Prabowo-Gibran. Namun, berbeda dengan kasus Eggi pada 2019, tokoh-tokoh ini tidak mengalami penahanan.
Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden terpilih periode 2024-2029, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil, perlindungan demokrasi, dan penghormatan terhadap HAM. Beliau menggarisbawahi bahwa, negara harus menjamin kepastian hukum dan kebebasan berpendapat yang dilindungi konstitusi. Komitmen ini diharapkan mampu membawa kemajuan dalam membangun sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan demokratis.
Sebagai upaya nyata dari janji ini, seluruh kabinet dan pejabat terkait, termasuk Wakil Presiden, para menteri, kepala badan, Kapolri, Panglima TNI, dan Jaksa Agung, diharapkan dapat mengimplementasikan tujuan mulia yang disampaikan Presiden. Khususnya, Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin Prof. Yusril Ihza Mahendra, Kementerian HAM di bawah Nathalius Pigai, serta Kejaksaan Agung diharapkan mampu menjalankan perintah ini tanpa terhambat kepentingan politik masa lalu untuk memberikan kepastian hukum yang komprehensif, tidak hanya bagi kasus yang menimpa Eggi Sudjana, tetapi juga kasus-kasus serupa lainnya. Masyarakat berharap bahwa pidato Presiden Prabowo bukan hanya sekadar retorika, melainkan akan diwujudkan melalui tindakan nyata yang bisa menjadi pembuktian kepastian hukum, terutama bagi Eggi Sudjana, yang merupakan tokoh, aktivis, cendekiawan Muslim, dan advokat. Sejak era Orde Baru, Eggi telah membuktikan pengabdiannya dan kesetiaannya kepada bangsa dan negara dalam bidang hukum, pengetahuan Islam dan demokratisasi.
Pernyataan Prabowo ini diharapkan menjadi titik balik dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia yang bersih dari kepentingan politik dan berorientasi pada keadilan serta perlindungan HAM.
*Berkaca Dari Sejarah Dunia Masa Lalu*
Hal serupa terjadi di Amerika Serikat pasca Perang Saudara (1861-1865). Setelah konflik, Presiden Abraham Lincoln memberikan pernyataan yang tegas tentang pentingnya rekonsiliasi nasional, penegakan hukum yang adil, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam pidatonya, ia menekankan perlunya “malice toward none, with charity for all” yang berarti menjunjung perdamaian dan memulihkan hubungan nasional tanpa dendam terhadap pihak yang pernah dianggap sebagai musuh negara.
Afrika Selatan setelah berakhirnya rezim apartheid di bawah kepemimpinan Presiden Nelson Mandela pada 1994. Mandela, yang sebelumnya dianggap ancaman besar oleh pemerintah apartheid dan pernah dipenjara selama 27 tahun, menekankan pentingnya membangun demokrasi dan keadilan tanpa diskriminasi. Ia memberikan pengampunan kepada tokoh-tokoh yang pernah mendukung apartheid dan tidak melakukan tindakan balasan kepada lawan politik. Langkah ini mendapat dukungan luas dari rakyat Afrika Selatan karena Mandela berhasil menunjukkan bahwa pemerintahannya serius dalam menegakkan hukum dan menjunjung tinggi HAM. Kepastian hukum bagi oposisi, melalui pendekatan rekonsiliatif, menjadikan Afrika Selatan contoh nyata negara yang berhasil memperbaiki hubungan antargolongan setelah masa kelam.
*Penutup*
Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato pelantikannya untuk periode 2024-2029, menekankan pentingnya penegakan hukum, HAM, dan demokrasi yang adil serta melindungi hak kebebasan berpendapat. Seperti yang terjadi di negara-negara besar tersebut, dukungan rakyat untuk pidato Prabowo akan semakin kuat bila komitmen ini dibuktikan melalui langkah konkret, seperti memberikan kepastian hukum yang transparan bagi pihak oposisi, termasuk kasus-kasus seperti yang menimpa Eggi Sudjana. Apabila pemerintah dan kabinet menjalankan amanat ini dengan keseriusan yang sama, langkah ini tidak hanya akan menjadikan Indonesia lebih demokratis tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat pada pemerintahan baru.
Penerapan yang konsisten atas pidato tersebut bisa menjadi tonggak penting menuju masa depan hukum yang adil dan demokratis. Ini menjadi harapan bersama agar Presiden dan kabinet, termasuk Wakil Presiden, Menteri Hukum dan HAM, Prof. Yusril Ihza Mahendra, Menteri HAM Nathalius Pigai, Kapolri, Panglima TNI, dan Kejaksaan Agung dapat memberikan kepastian hukum dan perlakuan adil tidak hanya bagi Eggi Sudjana tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki kasus serupa. ***
*(Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era 90an, Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo))
Kalibata, 8 November 2024, 13:36 WIB.