Dam dan Hadyu: Dari Kewajiban Personal ke Manfaat Komunal
Secara fikih, Dam adalah bentuk denda atas pelanggaran manasik (seperti melanggar larangan ihram, tidak melakukan wajib haji, atau memilih haji tamattu’/qiran), sedangkan Hadyu adalah kurban wajib sebagai bagian dari pelaksanaan manasik itu sendiri. Dua istilah ini lekat dengan darah sembelihan, tetapi tak kalah penting adalah ruhnya: kepatuhan dan keikhlasan. Masalah muncul ketika realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan dam dan hadyu seringkali menjadi “pasar bebas” praktik tidak sah, tidak tercatat, bahkan fiktif. Banyak jemaah menyerahkan uang kepada “jasa” sembelih tak resmi, tanpa tahu apakah hewannya disembelih di Mina atau tidak, disalurkan ke mustahik atau tidak, bahkan apakah benar-benar dilakukan atau tidak. KMA 437 hadir sebagai koreksi atas semua itu. Regulasi ini bukan hanya instrumen administratif, tapi juga bentuk taqarrub kelembagaan untuk menjamin bahwa setiap ibadah jemaah tidak sekadar sah di atas kertas, tetapi juga bermanfaat dan berdampak sosial.