Tentu bukan hal mudah. Risiko penyalahgunaan kewenangan oleh negara dalam menutup ruang publik harus dihadapi dengan mekanisme pengawasan independen dan prosedur hukum yang jelas. Tapi membiarkan ekonomi perhatian merombak norma-norma hukum demi keuntungan komersial juga bukan opsi. Negara hukum sejatinya adalah kerja kolektif antara hukum, budaya, institusi, dan teknologi. Ketika salah satu aspek ini rusak, yang lain harus diisi.
Opini ini bukan sekadar seruan untuk represi. Ia seruan untuk perbaikan: penegakan yang adil, moderasi platform yang bertanggung jawab, saluran aspirasi yang bekerja, dan pendidikan hukum yang menyentuh hati warga. Jika negara ingin klaim ‘negara hukum’ tidak hanya menjadi stiker di ruang publik, kita harus menumbuhkan budaya hukum yang membuat setiap warga merasa bahwa hukum adalah milik bersama—bukan sesuatu yang hanya dipakai untuk menindas, atau sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya diri di tengah kehancuran.***












