Namun mari kita jujur. Menyatukan PWI yang terbelah bukan perkara gampang. Luka yang menganga setahun ini tidak akan sembuh hanya dengan jabat tangan atau foto bersama. Munir akan butuh energi, kesabaran, bahkan kecerdikan politik untuk merangkul semua faksi. Tugas pertamanya memang itu: memastikan rumah besar ini benar-benar satu atap.
Tugas keduanya, tak kalah berat: menguatkan eksistensi PWI di tengah disrupsi media. Kawan semua tahu, dunia pers sedang berada di persimpangan jalan. Model bisnis lama runtuh, iklan tersedot Google dan Meta, sementara publik lebih banyak membaca berita di gawai ketimbang koran ataupun televisi dan radio. Kalau PWI hanya sibuk dengan urusan internal, jangan salahkan anggota makin merasa tidak dilayani.
Munir sendiri sudah bilang, PWI harus membangun ekosistem media yang kuat dan sehat, baik dari sisi konten, ruh jurnalisme, maupun bisnis. Nah, ini kalimat yang indah. Tetapi, kawan, indah saja tidak cukup. Kita sudah terlalu sering mendengar pengurus PWI baru berjanji soal peningkatan kualitas jurnalisme, menghadapi tantangan digital, dan memperjuangkan kesejahteraan wartawan. Tiga lagu lama itu nyaris selalu diputar lima tahun sekali.












