Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
JAKARTA || Bedanews.com – Keberlakuan teori asas-asas hukum pidana tidak mengenal penegakan hukum dengan sudut pandang subjektif atau tidak mengenal pangkat dan martabat atau garis keturunan, melainkan perbuatan apa yang dilakukan serta ketentuan hukum apa yang dilanggar (asas legalitas), sehingga melulu menampilkan objektifitas, karena salah satu konsep yang menjadi dasar penegakan hukum adalah konsep keadilan yaitu semua orang sama dihadapan hukum (equality).
Dalam sebuah tayangan video youtube yang sumber narasinya adalah Panda Nababan,https://youtu.be/SIJez7hXlAY?si=R6ttNRAU7YrRTZfy terdapat diksi yang menerangkan bahwa, “rumah milik Maruarar Sirait (Ara) di jalan Diponegoro senilai 100 Milyar rupiah dan Ara sendiri mengakui rumah mewah seharga 100 Milyar tersebut dibeli dari hasil bantuan seorang pengusaha, yang hasil daripada menyimak video terakumulasi dan melahirkan prediksi identitas pemberi hibah kepada Ara adalah Aguan si pengembang PIK 2, yang namanya kini sedang heboh diberbagai kota di tanah air, utamanya di wilayah Banten dan Jakarta.
Oleh karenanya, jangan sampai asumsi publik menjadi tersesat akibat keliru atau salah dalam menginterpretasikan isi berita video dari Panda yang merupakan seorang tokoh nasional.
*_Sementara materi yang menjadi temuan pada video dimaksud melahirkan tuduhan publik, “adanya dugaan delik gratifikasi, yang secara hukum dimaknai sebagai bentuk suap dan asumsi publik pemberi gratifikasinya adalah Aguan”._*
Maka tentunya demi mencegah tuduhan publik dimaksud tidak prematur lalu justru berkembang menjadi fitnah, maka idealnya informasi dari Panda Nababan yang punya value dengan klasifikasi informasi A 1 sudah seharusnya diinvestigasi oleh Penyidik KPK atau penyidik Kejaksaan Agung tentang:
1. Apakah saat menerima pemberian uang atau hibah barang status Ara adalah seorang anggota legislatif pada tahun 2004-2009 atau 2009-2014 atau 2014-2019?
2. Atau setelah Ara tidak menjadi anggota DPR RI atau saat menjadi menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman/KPK?
Sebab, andai Ara saat menerima gratifikasi sebagai anggota DPR RI dari fraksi PDIP atau saat menjadi menteri PKP, artinya oleh sebab hukum administratif ketatanegaraan, Ara adalah seorang penyelenggara negara saat itu 2004, sehingga Ara dapat didiga pelaku penerima suap (gratifikasi).
Sehingga andai digali antara rumah Ara di Jalan Diponegoro dengan sosok Aguan, maka sepatutnya kah publik menduga bakal ada temuan benang merah antara kedua jabatan Ara saat legislatif dan saat ini selaku eksekutif tertinggi di kementerian PKP?
Selain informasi adalah dari seorang Panda yang juga pernah menjadi wakil rakyat di DPR RI, yang sengaja mempublikasi terbuka untuk umum melalui video YouTube sebagai perangkat IT Jo. UU. ITE. Maka para aparatur penyidik harus segera menindaklanjuti dengan pola normatif (KUHAP) dengan didahului pemanggilan terhadap Panda dan Aguan untuk diminta kesaksiannya perihal tuduhan publik yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 12B dan 12C Undang-Undang tahun 2001 Jo. UU. Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang TIPIKOR)
Dikarenakan gratifikasi merupakan bagian dari delik biasa, sehingga berdasarkan teori dan asas asas hukum pidana bahwa terkait perkara yang bisa menyentuh Ara, tidak butuh adanya aduan atau pelaporan lebih dulu dari seseorang yang mengaku menjadi korban, dan jenis gratifikasi merupakan unsur dari delik pidana formil, yakni perbuatan pelanggarannya terhitung sejak adanya peristiwa berupa perbuatan pemberian uang atau barang kepada pejabat publik penyelenggara negara.
Sehingga pelanggaran terhadap pasal gratifikasi tidak harus adanya akibat kerugian keuangan negara secara langsung, namun ada kaitan dengan jabatan publik dan bisa berakibat adanya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau KKN dan merupakan tindak pidana khusus yang tercantum didalam Undang-Undang TIPIKOR.
Selebihnya secara yuridis formil, bahwa temuan publik terkait UU. Tipikor ini termasuk perintah sistim hukum terhadap seluruh bangsa ini sebagai representatif pelaksanaan peran serta masyarakat, maka terhadap panda Nababan dapat diinvestigasi sebagai klarifikasi dan konfirmasi dan untuk dijadikan saksi a charge (memberatkan) dan Panda pastinya tidak boleh dilaporkan sebagai pelaku fitnah (laster). Lalu andai Ara terbukti selaku (penerima gratifikasi) dan Aguan pemberi gratifikasi terbukti ditemukan dua alat bukti yang cukup keduanya harus segera ditetapkan dengan status Tersangka/TSK.
Andai Ara dan Aguan mendapatkan vonis sanksi hukuman melalui badan peradilan lalu inkracht, maka Panda Nababan harus diberikan reward sebagai bentuk apresiasi dan sertifikasi oleh KPK atau oleh Jaksa Agung karena telah menjalankan “peran” serta masyarakat dalam pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Vide Peraturan Pemerintah/ PP. Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***