Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati (Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah)
JAKARTA || Bedanews.com –
*Pendahuluan*
Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, hubungan antara institusi militer dan sipil selalu menjadi topik sensitif. Baru-baru ini, dua rancangan undang-undang (RUU) penting—Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri)—menjadi sorotan. Menariknya, reaksi publik terhadap kedua RUU ini menunjukkan kontras yang mencolok: Revisi UU TNI memicu demonstrasi besar-besaran, sementara RUU Polri justru disambut dengan keheningan. Artikel ini akan menganalisis fenomena tersebut secara komprehensif, didukung oleh data empiris dan historis yang akurat.
*Pembahasan*
*1. Reaksi Publik terhadap Revisi UU TNI*
Pada 20 Maret 2025, DPR RI mengesahkan revisi UU TNI yang memungkinkan perwira militer aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil, termasuk di Kementerian Sekretariat Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Selain itu, usia pensiun perwira tinggi TNI diperpanjang. Langkah ini memicu kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI ala Orde Baru, di mana militer memiliki peran dominan dalam urusan sipil.
Reaksi keras pun muncul dari berbagai elemen masyarakat. Ratusan mahasiswa dan aktivis turun ke jalan, membawa spanduk bertuliskan “New Order Strikes Back” dan “Kembalikan Militer ke Barak”. Amnesty International Indonesia mengingatkan akan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia jika militer kembali terlibat dalam urusan sipil.
*2. Keheningan terhadap RUU Polri yang Mengkhawatirkan*
Sebaliknya, RUU Polri yang tengah dibahas justru tidak mendapatkan sorotan publik yang sepadan. Padahal, RUU ini mengusulkan 47 perubahan pasal yang berpotensi memperluas kewenangan Polri secara signifikan, termasuk dalam penanganan keamanan pangan, energi, lingkungan, dan sektor lainnya. Pengamat politik dan militer menilai bahwa ketimpangan jumlah pasal yang direvisi antara RUU TNI dan RUU Polri dapat menggeser paradigma keamanan nasional, di mana kepolisian berpotensi menjadi lebih dominan dibandingkan militer dalam berbagai sektor strategis.
Namun, respons publik terhadap RUU Polri cenderung minim. Media massa tidak banyak memberitakan, mahasiswa dan aktivis yang sebelumnya vokal justru terkesan diam. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa perluasan kewenangan militer mendapat perlawanan keras, sementara ekspansi kekuasaan kepolisian disambut dengan keheningan?
*3. Analisis: Faktor-Faktor Penyebab Perbedaan Respons Publik*
• *Sejarah dan Memori Kolektif*
Masyarakat Indonesia memiliki memori kolektif tentang dominasi militer selama era Orde Baru, di mana dwifungsi ABRI menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan kekuasaan. Trauma sejarah ini membuat publik lebih waspada terhadap upaya militer kembali ke ranah sipil. Sebaliknya, Polri yang terpisah dari ABRI pasca-reformasi tidak memiliki catatan kelam yang sama dalam ingatan kolektif masyarakat.
• *Kedekatan dan Interaksi Sehari-hari*
Polri memiliki interaksi langsung dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam pengurusan SIM, STNK, dan layanan keamanan lainnya. Kedekatan ini menciptakan ambivalensi: di satu sisi, masyarakat merasa lebih akrab; di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kritik terhadap Polri dapat berujung pada intimidasi atau represi.
• *Persepsi Ancaman dan Risiko*
Mengkritik militer mungkin dianggap lebih aman karena TNI cenderung tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat sipil dalam konteks hukum dan ketertiban. Sebaliknya, Polri memiliki kewenangan langsung dalam penegakan hukum, sehingga kritik terhadap institusi ini dapat dianggap berisiko lebih tinggi bagi individu atau kelompok.
• *Peran Media dan Kontrol Informasi*
Minimnya pemberitaan media tentang RUU Polri dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal, media mungkin khawatir kehilangan akses atau menghadapi tekanan jika terlalu kritis terhadap Polri. Secara eksternal, ada kemungkinan kontrol informasi yang lebih ketat terkait isu-isu sensitif yang melibatkan kepolisian.