Kab. Bandung, BEDAnews
Diduga akibat kurangnya sosialisasi, masa dispensasi UU No. 23 tahun 2006, Tentang Administrasi Kependudukan hingga 31 Desember 2011 lalu, tidak mencapai hasil maksimal, terbukti masih banyak kelahiran yang belum didaftarkan terutama di Pedesaan.
Informasi yang berhasil dihimpun BEDAnews, pernah ada pembuatan Akta Kelahiran masal dengan biaya berkisar antara Rp. 25 ribu hingga Rp. 150 ribu, namun tidak dijelaskan mengenai masa dispensasinya, sehingga bagi warga pedesaan yang mayoritas SDMnya di bawah rata-rata, tidak memahaminya dan berpikir masih ada waktu lain.
Mereka baru menyadarinya di saat pihak sekolah tempat putra-putrinya menuntut ilmu, meminta Akta Kelahiran. Tentu mereka sangat terkejut ketika tahu masa dispensasi telah berakhir, dan saat ini untuk membuat Akta Kelahiran harus berdasarkan Ketetapan Pengadilan dan dikenakan denda.
“Ah, upami keukeuh kedah aya Akta Kelahiran mah, wios sina liren bae budak teh da ari kedah sidang bari didenda mah jabi teu aya waktosna, artosna oge bade ti mana (kalau tetap harus ada akta kelahiran, biar berhenti saja sekolahnya, apalagi harus sidang dan didenda, red),” ujar Ayat, salah seorang warga Ciwidey Kabupaten Bandung, kepada BEDAnews, Rabu (16/1).
Saya kira lanjut Ayat, pembuatan akta kelahiran tidak menjadi serumit dulu. “Kalau tahu prosesnya akan rumit begini, lebih baik dulu memaksakan diri untuk membuat akta dengan biaya Rp. 25 ribu saja,” tambah lelaki yang kesehariannya bekerja sebagai buruh tani itu.
Sementara itu, tidak tertibnya catatan perkawinan juga menjadi salah satu penyebab masih banyaknya anak-anak yang belum memiliki Akta Kelahiran terutama anak-anak yang jadi korban perceraian orang tuanya.
Sebut saja Quraesin, wanita yang memiliki anak dari perkawinan sebelumnya menjadi bingung, karena perceraian dengan mantan suaminya di luar prosedur yang diatur Undang-Undang Perkawinan, buku kutipan Akta Nikahnya saat menikah dengan suaminya yang sekarang diserahkan kepada P3N yang kemudian diambil Penghulu. (Path)