KAB. BANDUNG || bedanews.com — Menanggapi adanya tuduhan masyarakat terkait adanya sewa lahan yang diperuntukkan bagi “Orang Kaya,” ditegaskan, Manager Penanganan dan Penyelesaian Permasalahan Pertanahan (P4) PTPN VIII, Dedi Kusramdani, itu tidak sama sekali. Mengingat selama ini tidak ada yang mengatur hal tersebut.
Namun ia tidak memungkiri jika ada oknum internal yang melakukan fraud dalam hal apapun juga termasuk sewa menyewa lahan yg masuk ke kantong pribadi. Prilaku itu jelas merupakan pelanggaran peraturan PTPN VIII. Jika terbukti akan dilakukan tindakan tegas sesuai peraturan yang berlaku, bisa sampai dipecat dengan tidak hormat.
Ia mengakui beberapa waktu ke belakang sudah ada 2 orang karyawan pimpinan yang diberhentikan tidak hormat terkait hal tersebut. Untuk itu ia meminta kepada masyarakat yang mrngetahui adanya pelanggaran yang terjadi, diharapkan dapat memberikan info dengan dilengkapi data dan bukti yang valid melalui WBS PTPN VIII (Whistle Blowing System https://www.ptpn8.co.id/whistleblowing/ ).
Sementara untuk kerjasama penggunaan lahan, ia mengemukakan, sudah diatur sesuai mekanisme perusahaan melalui kerjasama Budi Daya Tanaman, dalam bentuk PMDK (Pemberdayaan Masyarakat Desa sekitar Kebun), sebagai bentuk win – win solution penanganan lahan garapan yang sebelumnya digarap tanpa ijin dari PTPN VIII sebagai pemegang hak kelola atas lahan (HGU).
“Dengan program PMDK ini pelaksanaan pertanian yang dilakukan oleh penggarap akan lebih terkendali secara kultur teknis dan kesesuaian lahannya sehingga tidak membawa dampak kerusakan lingkungan yang berpotensi terjadi banjir, erosi ataupun longsor.
Selain itu juga memberikan kontribusi bagi perusahaan karena ada kompensasi dari mitra kerjasama (Kelompok Tani), dimana sebelumnya saat masih illegal tidak ada kompensasi kepada PTPN VIII, padahal setiap tahun yang membayar pajak PBB nya,” katanya melalui telepon, Sabtu 16 Juli 2022.
Dedi menjelaskan, kerjasama PMDK yang sudah dilakukan di daerah Kertasari seluas 441 ha oleh 75 Kelompok Tani dengan total penggarap +/- 1.500 orang. Semuanya merupakan masyarakat Kecamatan Kertasari. Lokasi berada di Afdeling Cikembang. Untuk penandatangan Perjanjian Kerjasama itubdilakukan pada tahun 2019 yang saat itu juga disaksikan oleh Menteri Pertanian, Wakil Gubernur Jabar, dan Bupati Bandung.
Selain itu, lanjutnya, ada juga bentuk kerjasama lainnya berupa pinjam pakai lahan. Biasanya untuk fasilitas sosial dan fasilitas umum seperti puskesmas, posyandu, TPSA (Tempat Pengelolaan Sampah, Kuburan), Kantor Desa, dan lainnya. Kompensasi pinjam pakai lahan biasanya berupa immaterial atas kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Perjanjian Kersama.
Demikian juga dengan bentuk kerjasama yang lainnya adalah Kerjasama Operasional (KSO) dan Kerjasama Usaha (KSU). Kerjasama ini bersifat B to B (Bisnis to Bisnis) perhitungan kompensasi lebih besar dibanding kerjasama PMDK, karena mitra kerjasama biasanya dari badan usaha yang sudah professional di bidangnya. Contoh yang sudah dilakukan adalah kerjasama pengelolaan tanaman teh dan tanaman kopi yang sudah eksisting.
Jadi tidak ada sama sekali sewa lahan untuk dibangun rumah bagi “orang kaya” karena tidak ada mekanisme yang mengatur itu.
Perlu juga digarisbawahi, ungkapnya, semua kebun–kebun PTPN VIII berasal dari perusahaan–perusahaan milik asing (Belanda, Jerman, Perancis) yang pada tahun 1957 – 1960 dinasionalisasi menjadi Perusahaan Perkebunan Negara dengan pengelolaan HGU (Hak Guna Usaha) oleh pemerintah RI pada jaman Presiden Soekarno, sesuai dengan mekanisme dan peraturan pemerintah pada saat itu.
Jadi tidak ada waktu itu mengambil lahan milik masyarakat, imbuhnya, sehingga terkait pertanyaan lahan yang sudah diberdayakan secara turun temurun, mungkin maksudnya lahan HGU yang digarap illegal sejak awal tahun 2000 an, dimana waktu memang sangat masif terjadi okupasi lahan. Sampai saat ini luas lahan okupasi kebun PTPN VIII yang berada di wilayah Kecamatan Kertasari seluas +/- 680 ha. Dimana saat ini sedang dilakukan persuasive edukatif untuk diarahkan pada program PMDK.
“Dalam hal ini masih sering terjadi salah kaprah pengertian mengenai status lahan HGU PTPN VIII. Banyak beranggapan karena PTPN VIII adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Sehingga menganggap lahannya adalah Tanah Negara. Padahal yang tepat adalah Tanah Asset.
Definisi Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat, tanah wakaf, barang milik negara/daerah/desa atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan tanah yang telah ada penguasaan dan belum dilekati dengan sesuatu hak atas tanah,” ujarnya.
Lahan HGU PTPN VIII, ia menerangkan, merupakan Tanah Asset karena sudah melekat alas hak di atasnya kepada PTPN VIII sebagai Perusahaan (Persero). Sehingga dalam hal ini pun lahan HGU PTPN VIII bukan merupakan TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria). Jadi tidak dapat langsung diredsitribusi atau dibagikan begitu saja kepada masyarakat. Lahan HGU PTPN VIII dapat menjadi Tanah Negara jika ada pelepasan asset terlebih dahulu dari Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan disetujui oleh DPR RI sesuai mekanisme yang berlaku. Bahkan jika SK HGU dalam proses perpanjangan atau sudah habis pun, hak kelola PTPN VIII masih kuat legalitasnya.
(Terlampir Penjelasan BPN Kanwil Prop Jabar terkait hal tersebut).
Untuk Program PMDK itu, ia menyampaikan, merupakan salah satu bentuk langkah persuasive dan bentuk rekonsiliasi, agar para penggarap yang sebelumnya illegal bahkan tidak sedikit melakukan perusakan dan pembongkaran terhadap tanaman pokok di atas lahan tersebut. Melalui PMDK ini masyarakat diberikan legalitas dalam bentuk kerjasama penggunaan lahan untuk budidaya tanaman.
Prioritas dalam hal ini, ia menyebutkan, adalah Azas Manfaatnya dapat dirasakan bukan untuk Azas Memiliki. Dan tidak berpotensi terjadi konflik horizontal. Karena para pekerja PTPN VIII pun pasti akan mempertahankan jika sawah ladang mata pencahariannya diganggu. Namun yang perlu diwaspadai adanya perorangan/kelompok dengan kepentingan tertentu yang mengiming-imingi masyarakat awam untuk dapat MEMILIKI (mensertifikatkan) dengan dalih atau issue SK HGU Habis, Tanah Terlantar, Reforma Agaria, dan lain sebagainya.
“Bisa saja hal tersebut terjadi karena adanya misskomunikasi, karena kami pun menyadari masih banyak kekurangan dalam melakukan sosialisasi terkait legalitas dan peraturan-peraturan mengenai HGU PTPN VIII. Selain itu memang diperlukan kolaborasi dan sinergitas PTPN VIII dengan semua stake holders yang meliputi Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, Legislatif, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Media, untuk bersama-sama melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat,” pungkasnya.***