Bagi Muslim Arbi, isu ijazah bukan sekadar persoalan administratif, melainkan cerminan dari etika politik.
“Seorang pejabat publik harus menjadi contoh kejujuran. Kalau urusan ijazah saja penuh misteri, apa yang bisa diharapkan dari kepemimpinannya?” tambahnya.
Dalam analisisnya, Muslim Arbi menilai, Gibran bukan hanya problem personal, tapi juga sumber ketegangan nasional. “Lihat saja, sejak Gibran diumumkan sebagai Cawapres, politik Indonesia tidak berhenti ribut. Ada yang menolak, ada yang membela. Bahkan setelah dilantik pun, suara kekecewaan tidak mereda. Ini artinya, posisi Gibran bukan mendamaikan bangsa, melainkan terus membelahnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, kehadiran Gibran memperlihatkan bahwa, kekuasaan hari ini terlalu berpusat pada dinasti, bukan meritokrasi. “Gibran hanyalah perpanjangan tangan dari Jokowi. Maka selama Gibran masih di situ, publik akan terus mengaitkan kekuasaan ini dengan intervensi keluarga Jokowi,” kata Muslim Arbi.












