Ia mengacu pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju mendampingi Prabowo. Putusan itu dinilai sarat konflik kepentingan karena Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman Gibran.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi penghinaan terhadap hukum itu sendiri. MK sebagai benteng terakhir konstitusi malah dijadikan alat politik keluarga. Maka jangan heran bila rakyat tidak tenang, sebab keadilan sudah diacak-acak dari atas,” ujar Muslim Arbi.
Selain soal legalitas konstitusional, Muslim Arbi juga menyoroti isu integritas pribadi Gibran, terutama terkait kejelasan riwayat pendidikannya.
“Publik masih mempertanyakan ijazah Gibran. Ada yang bilang dia tidak lulus SMP, ada yang bilang ijazahnya tidak bisa diverifikasi. Kalau hal mendasar seperti itu saja masih kabur, bagaimana publik bisa percaya pada keabsahan moral seorang Wakil Presiden?,” tanyanya retoris.












