Beberapa hari lalu saya membaca pernyataan Ketua Umum Pusat Koperasi Pedagang Pasar (Puskoppas), Gusnal, yang menyebut 40 persen atau sekitar 60 dari 153 pasar tradisional di bawah pengelolaan Perumda Pasar Jaya berada dalam kondisi memprihatinkan: kumuh, becek, bocor, rawan banjir dan kebakaran.
Klaim ini keliru jika dikaitkan dengan istilah “kumuh.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kumuh berarti kotor atau cemar. Dalam konteks perkotaan, permukiman kumuh diartikan sebagai kawasan yang tidak layak huni karena padat penduduk, bangunan berdempetan dan berkualitas buruk, serta minim atau bahkan tidak memiliki sarana dan prasarana dasar seperti sanitasi dan air bersih.
Jika pengertian tersebut diterapkan pada pasar tradisional, maka istilah kumuh dapat dimaknai sebagai kondisi bangunan pasar yang rusak parah, lingkungan yang tidak sehat, serta keterbatasan fasilitas dasar seperti listrik, air minum, sistem drainase dan MCK. Dengan mengacu pada definisi tersebut, tidak logis apabila disebut ada 60 pasar tradisional di Jakarta yang benar-benar layak dikategorikan sebagai kumuh.