Oleh : Prof.Dr.Rosihon Anwar, M.Ag
Film “The Creator”, Film Amerika yang diproduksi oleh Gareth Edwards, menceritakan peperangan antara manusia dan Artificial Intelligence (AI). Film ini membawa penonton ke masa depan ketika keberadaan AI mendominasi dunia. Di akhir cerita, ternyata AI berhasil mengalahkan manusia.
Film ini memberi warning ketika AI benar-benar telah mendominasi seluruh sektor kehidupan manusia, termasuk sektor pendidikan. Sungguh tak terbayangkan jika AI benar-benar sudah hadir di tengah-tengah kita. Apalagi jika AI berwujud robot manusia yang telah memiliki sense of human sebagaimana digambarkan dalam film di atas.
Pasti AI akan merontokkan semua asumsi kita selama ini tentang pendidikan. Nanti, sumber pengetahuan tidak lagi terkonsentrasi pada guru, dosen, ustad, atau pengajar pada umumnya. Kita dapat memperolehnya dari mesin-mesin pencarian yang dikendalikan oleh AI yang kecepatan dan keakuratannya melebihi kecerdasan manusia.
Bila para sumber pengetahuan konvensional tidak memiliki pembeda dengan AI, maka lambat laun para pencari informasi tidak akan mengandalkan mereka lagi. Para pencari ilmu itu pasti akan beralih ke mesin-mesin penyedia ilmu. Kalau sudah begini, maka para sumber pengetahuan konvensional tersebut tidak memiliki wibawa lagi.
Apa pembeda tersebut? Para sumber pengetahuan konvensional harus memposisikan diri bukan saja sebagai agent of knowledge transfer, tetapi juga sebagai agent of value transfer. Ya, agen transfer nilai. Bukan saja menyampaikan pengetahuan, tetapi juga bagaimana pengetahuan tersebut menjadi nilai-nilai kehidupan. Ini barangkali sisi yang dapat diandalkan dan tidak dimiliki oleh AI.
Dalam bahasa agama, nilai itu dinamakan akhlak mulia. Kedisiplinan, kejujuran, kesabaran, ketangguhan menghadapi masalah, toleran dengan perbedaan, dan lainnya adalah nilai-nilai yang dapat diandalkan oleh para pencari ilmu dari para guru, dosen, ustad, dan lainnya.
Dalam kitab klasik tentang etika belajar, Talimul Mutaallim, penanaman nilai tersebut diistilahkan dengan irsyad ustad. Ya, irsyad bukan hanya memberikan petunjuk tentang suatu pengetahuan, tetapi petunjuk bagaimana pengetahuan dijadikan sebagai nilai kehidupan.
Tidak lagi apa itu sabar, tetapi bagaimana nilai kesabaran dapat dilaksanakan, diukur, dan dinilai. Bukan lagi apa itu sains, tetapi bagaimana sains dapat berwujud menjadi sesuatu bagi manusia. Bukan lagi apa itu politik, tetapi bagaimana politik mengatur segala sesuatu tetap indah dan harmoni. So, knowledge is not as knowledge itself, but also as a value that is implemented.
Sekali lagi, nilai dari pengetahuan harus menjadi perhatian bersama bagi kita semua. Harus dipastikan, setiap pelajaran/perkuliahan yang diberikan kepada murid/mahasiswa harus disertakan dengan nilai yang melekat.
*(Prof. Dr.Rosihon Anwar, M.Ag., Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.)