Demikian pula Nur Aini, santriwati di pesantren kecil di Brebes, yang tanpa akses internet pun mampu menulis esai kritis dan memenangkan lomba nasional. Ia belajar dari kitab-kitab kuning dan dialog panjang dengan kyai dan ustazahnya. Ketangguhannya tumbuh bukan dari kemudahan, tapi dari ketelatenan dan rasa hormat kepada ilmu.
Cabang Digital: Gagasan Besar dalam Dunia yang Rapuh
Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli seharusnya menjadi pengingat bahwa generasi penerus bangsa tak bisa tumbuh dalam ruang hampa. Mereka bukan kertas kosong yang bebas ditulisi keinginan orang dewasa, melainkan entitas hidup dengan potensi yang unik dan dunia yang berbeda dari para pendidiknya. Di satu sisi, banyak anak Indonesia masih lahir dan tumbuh dalam pola asuh tradisional. Dari desa-desa di pegunungan hingga pesantren di pesisir, anak-anak ini dibesarkan dengan nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan spiritualitas. Mereka tahan banting, karena terbiasa menghadapi realitas keras sejak dini. Namun, di sisi lain, lahir pula generasi digital yang penuh ide dan akses. Anak-anak ini tumbuh dalam banjir informasi, kreatif dalam berkonten, dan mahir mengoperasikan teknologi. Tapi banyak pula dari mereka yang rapuh, mudah cemas, dan kesulitan membangun ketangguhan batin. Inilah paradoks zaman kita, tradisi memberi akar, modernitas memberi sayap. Tapi kita tak bisa memilih salah satunya. Tugas kita sebagai orang tua, guru, dan negara adalah menyambungkan akar dan sayap itu, agar anak-anak bisa tumbuh kuat bukan sekadar cepat.