Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212)
JAKARTA || Bedanews.com – (Sebuah tanggapan terhadap artikel dari rekan giat juang Prof. Eggi terkait dukungan warga Jakarta Kepada Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta).
NKRI ada 38 provinsi dan andai gaung para aktivis pro demokrasi anti oligarki serius netral dalam kontestasi politik pilkada serentak di 2024, oleh sebab data empirik perilaku penguasa pada kurun waktu satu dekade (2014-2024).
Lalu apa manfaatnya jika 37 provinsi netral, namun untuk sebuah provinsi diberikan dukungan khususnya DKI Jakarta?
Hal tidak netral untuk mendukung seorang dari calonnya untuk satu wilayah saja, maka publik anti Jokowi di Jakarta perlu mendapat kejelasan, apakah lantaran Jakarta adalah ibukota negara?
Untuk itu, perlu tetap dijaga faktor geologi sebagai sentral politik, agar tetap menyisakan wadah dan wajah ibu kota yang penuh perlawanan?
Andai ini maksudnya, inkonsistensi, tentu bakal berhadapan dengan sebuah pertaruhan politik besar. Karena perlu diingat Ridwan Kamil yang didukung adalah antek-antek Jokowi dan Jokowi sebagai guru dan tempat minta petunjuk penguasa baru yang butuh meraih kemenangan atas calon gubernurnya.
Selain faktor hubungan Prabowo dengan anak Jokowi selaku Cawapres dan Jokowi tentu perlu mengabadikan namanya melalui sebuah monumen sejarah setelah dirinya lengser, selain berlanjut dengan kemenangan pilkada Jakarta oleh koalisinya (asuhannya) juga diterima oleh warga ibu kota negara yang dikenal kritis serta vokal menolak kepemimpinannya dan dengan segala deskripsi berikut sistim politik ekonomi, terutama dalam law enforcement dengan pola suka-suka hati termasuk perilaku korup, nepotisme, gratifikasi, persekusi, sampai dengan pola “politik hukum biadab” kriminalisasi.
Lalu, Jokowi yang terkenal licik, apakah tidak akan membangun figurasi wajah ibukota menjadi topeng kesuksesan dirinya selama menjabat 10 tahun, lalu berencana akan menjadikan Gibran kelanjutan dirinya yang sukses memimpin tanah air melalui tunduknya warga ibu kota negara yang ternyata mendukung pilihan partai yang dipimpin oleh koalisi yang Ia bentuk, termasuk kedua pasangan Cagub Ri-Ka dan Suswono (PKS), yang baru saja tinggalkan Anis demi mendukung antek-antek Jokowi. Dan Ri-Ka-Sus yang juga didukung oleh Ketum partai PSI yakni anak kandungnya Kaesang bin Jokowi.
Maka warga Jakarta andai memberi dukungan kepada Ri-Ka lalu kursi Jakarta 1 diperoleh, maka sebuah pertaruhan politik atau politik judi yang tak jelas keuntungannya selain jelas dampak kerugiannya di cermin sosiologi hukum dan politik kelak.
Mari kita sama-sama tunggu siapa atau pihak mana yang menang taruhan.
*_Lalu andai kalah, atau andai menang sekalipun namun janji diingkari se-model gaya tipu-tipu Jokowi_* mau mengadu kemana ? Ke DPRD yang mayoritas pecinta Jokowi, atau memang sejatinya ingin berkoalisi dengan Jokowi sejak dukungan kepada Ri-Ka-Sus namun mimikris melalui manufer dengan pola rekayasa dukungan pilkada DKI.
Dukungan politik setara pilkada merupakan traktat yang tidak sakral, atau perjanjian yang bukan sekelas antar negara, tentu bisa mudah dianulir atau dibatalkan dan pembatalannya bukan sebuah perbuatan melawan hukum.
Apakah pembatalan dukungan yang bersifat “peruntungan politik dan moralitas” diperlukan saat ini terhadap Ri-KaSus. Hal ini tentu domain kompetensi pihak-pihak yang bersepakat. **