Tulisan ini hadir untuk memberikan arahan praktis bagi guru, kepala sekolah, dan pemangku kebijakan dalam mengimplementasikan kurikulum cinta dan ekoteologi secara transformatif, dalam menyongsong 100 tahun Indonesia (2045), sejalan dengan kebijakan Surat Edaran Bersama (SEB) tiga menteri tentang pembelajaran keagamaan dan Kurikulum cinta Kemenag. Mari kita elaborasi satu-persatu dari 3 pertanyaan rekan media:
Pertama: Mengapa Kurikulum Cinta dan Ekologi Menjadi Fondasi Pembelajaran Transformatif? Kurikulum cinta memperkaya dimensi afektif dalam pembelajaran yang selama ini terlalu fokus pada aspek kognitif. Ia menanamkan kepekaan batin, empati sosial, dan rasa tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan. Ekoteologi menambahkan dimensi spiritual terhadap krisis lingkungan, mengajak peserta didik untuk melihat alam bukan sekadar objek, tetapi sebagai amanah Tuhan. Kedua pendekatan ini membentuk pembelajaran yang menyentuh rasa dan aksi membawa transformasi karakter, bukan sekadar informasi.