Tasikmalaya, bedanews.com – Saat ini warga kota Tasikmalaya sedang ramai membicarakan wacana pedestrian yang sudah direncanakan pada awal tahun lalu. Adapun pengerjaanya sudah dimulai pada hari Minggu tanggal 17 Juli 2022 di Jalan HZ Mustofa kecamatan Cihideung.
Namun, PC PMII kota Tasikmalaya akan konsen menganalisa, mengkaji serta menginvestigasi mengenai wacana dan pelaksanaan program tersebut, dikarenakan akan menyentuh banyak aspek dan banyak OPD yang terlibat.
Ardiana pengurus PPMI kota Tasikmalaya mengatakan, sebagaimana pedestrian adalah suatu konsep. Yang mana proyek ini dikonsepsikan sebagai konsep jalan kaki.
“Namun sangat disayangkan pemerintah saat ini tidak secara realistis memahami sosiologi masyarakat Indonesia, khususnya sosiologi warga kota Tasikmalaya,” ungkap Ardiana, Selasa (19/07/2022).
Dirinya menjelaskan, dalam penelitian/studi yang dilakukan stanford univercity bahwa indonesia menempati posisi pertama sebagai negara yang malas berjalan kaki.
Menurut Ardiana, rata-rata orang Indonesia hanya berjalan kaki 3.513 langkah perhari, jauh lebih sedikit dari catatan global yang rata-rata berjalan 5000 langkah kaki dan Hongkong adalah negara dengan masyarakat yang paling banyak berjalan kaki dengan rata-rata 6.880 langkah perhari.
“Adapun rasionalisasinya, dikarenakan, cuaca yang panas dan menggangu aktifitas jika hanya dengan berjalan kaki, catcalling atau bentuk pelecehan seksual diruang publik yangmana pelecehan ini massif dialami wanita dan lainnya,” ucapnya.
Selanjutnya, kata Ardiana, konsep pedestrian ini tentu akan memunculkan banyak respon keberatan & komplain, yang pertama, ini tidak sejalan dengan kepentingan pengusaha dimana jalur distribusi barang akan sangat terganggu dan tidak seperti biasanya.
“Belum lagi akan menambah kos lebih karena harus menggunakan jasa troly. Jika walikota bilang distribusi ini masih bisa diberikan solusi ketika saya melihat DED (detail engineering design) justru sulit akses untuk melakukan distribusi, karena ada bagian-bagian dari penataan yang bisa menghalangi,” tegasnya.
Kemudian lanjut Adriana, proyek ini sama sekali tidak mengakomodir kepentingan PKL, dan mengubur lapak tukang parkir yang menggantungkan hidupnya disana, belum lagi pendataan dan realokasi atau solusi belum jelas arahnya. Sekarang saja diwaktu pengerjaan omset PKL atau tukang parkir sudah terganggu.
“Artinya dengan berjalannya aktifitas pengerjaan proyek ini mereka akan merugi, padahal setelah kita tanya, mereka rutin membayar pajak dan retribus. Hemat saya minimal diwaktu pengerjaan ini walikota bisa memikirkan kompensasi dan bertanggungjawab atas kerugian mereka, karena hanya darisanalah mereka bisa makan dan menggantungkan hidupnya,” papar Ardiana.
“Dan yang harus dimengerti bahwa estetika tidak lebih penting dari berdialektika. Maka saya bersama rakyat dan mahasiswa siap untuk menantang debat terbuka dengan walikota, sekda & OPD lainnya khususnya PUPR untuk berdebat mengenai penataan kota dan semi pedestrian,” tambahnya.
Ardian menyebut, jika ditarik konteks pedestrian yang tidak realistis ini ke Jalan HZ Cihideung sebagai pusat transaksi atau perputaran ekonomi kota Tasikmalaya, yang menurut Walikota Muhammad Yusuf dengan percaya dirinya akan dijadikan persis malioboro.
Padahal, sudah jelas bahwa antara jalan HZ dan Malioboro memiliki perbedaan konteks, baik secara historis maupun kultural. Kalau Malioboro jelas berdekatan dengan objek wisata yang memang dengan itu bisa menarik para pengunjung baik dari wisatawan lokal, nasional maupun internasional untuk berkunjung menikmati kuliner, kreasi seni dll disana. belum lagi malioboro dikarunai suatu perjalanan historis yang panjang, serta memiliki ikon yang unik & menarik.
“Pertanyaannya, kenapa harus menduplikasi Malioboro? Kenapa tidak berinovasi atau berkreasi untuk memiliki identitas sendiri dengan ikon tersendiri? Sebagai kota yg memiliki title kota santri dan berstatus sebagai kota industri dan jasa,” cetus Ardiana.
Alasan berikutnya, mengapa PMII mengatakan bahwa proyek dari pemkot ini tidak merakyat. Karena (applicated) tidak memiliki semangat pemerataan pembangunan. Pihaknya bisa melihat dengan kentara bahwa pembangunan-pembangunan dikota tasikmalaya cenderung terpusat.
“Coba saja lihat dibeberapa kecamatan (diluar pusat kota) pemerintah cenderung abai dan tidak mau menyentuh untuk membangun peradaban yang maju,modern diwilayah itu. Artinya yang direvitalisasi, dan direnovasi hanya pusat kota saja, sementara yang lain kurang diperhatikan,” tuturnya.
Ardiana menambahkan, coba saja kalau sedari perencanannya membangun insfrastruktur di setiap wilayah pinggir kota dulu, ini akan menarik investor dan membuka kran investasi jika insfrastrukturnya sudah baik. selebihnya ini akan menghidupkan ekonomi disetiap penjuru dan sudut wilayah di daerah kota Tasikmalaya tidak hanya pusat kota saja
“Karena berbicara suatu kota industri dan jasa tidak bisa dilokalisir di satu titik tempat, karena ini berbicara status/domain kota. Bukan titik atau tempat,” pungkas Ardiana. (Noer)