Pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, perlu lebih aktif mengawasi pesantren. Sejak disahkannya UU Pesantren (2019), otonomi pesantren memang diakui. Tapi otonomi bukanlah kekebalan. Lembaga pendidikan, apapun coraknya, wajib tunduk pada prinsip perlindungan anak, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Di sisi lain, pesantren juga perlu membuka diri terhadap pembaruan manajemen kelembagaan. Transparansi anggaran, SOP hukuman, dan sistem pengaduan harus dibangun. Relasi kiai-santri perlu ditata ulang: bukan dalam pola feodalistik, tetapi relasi edukatif yang sehat. Pendidikan tidak boleh menjadi ruang reproduksi kekerasan dan dominasi.
Sudah saatnya kita melihat realitas pesantren secara jujur. Mengkritik bukan berarti membenci pesantren. Justru dari cinta terhadap pesantrenlah kritik itu lahir—agar lembaga ini tetap relevan dan manusiawi. Sebab, dalam pendidikan, tak boleh ada ruang bagi kekerasan yang disamarkan sebagai keteladanan. ***