Garut, BEDAnews
Di Kampung Pulo, jejak budaya matrilineal masyarakat Sunda masih bisa dilihat dari enam rumah adat yang masih tersisa sejak abad XVII. Rumah tersebut sudah beberapa kali direnovasi, tetapi tetap mempertahankan bentuk aslinya berupa rumah panggung dengan dinding anyaman bambu. Satu dari enam rumah itu masih mempertahankan atap daun aren, sedangkan sisanya sudah bergenteng tanah liat.
Keenam rumah itu merupakan peninggalan Arif Muhammad, prajurit Mataram yang kalah perang melawan kompeni Belanda yang bercokol di Batavia. Menurut sejarah, Arif Muhammad memiliki satu anak laki-laki dan enam anak perempuan. Ia kemudian membangun masjid sebagai simbol bagi anak laki-lakinya dan enam rumah untuk enam putrinya. Arif kemudian menyebarkan Islam di Garut.
Masjid dan gugusan rumah itu masih dalam kondisi terawat yang kini dikenal sebagai Kampung Adat Pulo. Uniknya, rumah tersebut secara turun- temurun menjadi hak milik anak perempuan pada keturunan berikutnya. Bila keturunan selanjutnya tidak memiliki anak perempuan, rumah diserahkan kepada anak perempuan saudaranya.
Sri salah seorang warga Kampung Adat Pulo, mengatakan, hanya perempuan yang boleh tinggal lama di rumah adat. Sedangkan kaum lelaki biasanya tinggal di luar areal adat setelah menikah. “Kami juga masih menjunjung pantangan adat, seperti tidak boleh memelihara hewan berkaki empat atau wajib meluangkan waktu lebih sembahyang setiap hari Rabu,” ujarnya.
Lokasi rumah adat Kampung Pulo ini tidak jauh dari Candi Cangkuang yang berasal dari abad VIII. Candi ini merupakan candi Hindu yang ditemukan pertama kali oleh arkeolog Uka Tjandrasasmita pada tahun 1966 berbentuk tonggak batu. Candi itu dipugar tahun 1976. Di dalam bangunan candi terdapat patung shiva yang sedang duduk di atas bunga teratai. Penamaan Cangkuang sendiri merujuk pada rumpun pohon cangkuang (Pandanus furcatus) yang tumbuh di sekitar candi.
Keberadaan candi di tengah pulau dan kearifan masyarakat tinggal di kawasan yang masih memegang adat, membuat Kampung Pulo kerap dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri. Sejak pemandangan alam Garut mewarnai peredaran kartu pos di Eropa, tahun 1920 pariwisata di Garut mulai dirubung turis asing.
”Tahun 1932, Garut sudah memiliki enam hotel berbintang,” kata Franz. Beberapa bintang film dunia, seperti Charlie Chaplin, pernah datang dua kali mengunjungi Garut, yakni pada tahun 1927 dan tahun 1933. Chaplin bahkan memberikan julukan ”Switzerland van Java” untuk Garut. Hal itu merujuk udara yang sejuk dan banyaknya gunung yang mengelilingi Garut. (Yanti)