Bahkan ungkapan itu tidak berbeda jauh dengan amanat Bung Karno dalam pidato HUT Proklamasi 1996: “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala daripada masa yang akan datang.”
Lalu bagaimana dengan hubungan antara sesama manusia, ada penjelasan kalau masyarakat Sunda atau Suku Sunda pada dasarnya tentang hubijgan antara sesama manusia dilandasi oleh sikap “Silih Asah, Silih Asuh, dan Silih Asih”, yang artinya harus saling mengasah atau mengajari, saling mengasuh atau membimbing dan saling mengasihi sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan.
Landasan sikap Suku Sunda itu divisualisasikan dalam beberapa ungkapan-ungkapan berikut ini:
1. Kawas gula eujeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
2. Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
3. Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
4. Ulah nyolok panon buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
5. Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.