Oleh: Ahmad Rusdiana
Manusia merupakan makhluk yang istimewa dengan segala perangkat yang diberikan Allah swt, baik perangkat keras
(jasad) maupun perangkat lunak (akal dan hati). Semua perangkat tersebut senantiasa memiliki tujuan dan manfaat bagi tubuh manusia itu sendiri. Semua perangkat harus dijaga dan dilestarikan dengan baik, karena jika tidak, maka akan rusak dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Hati dalam Islam merupakan perangkat lunak yang mempengaruhi perangkat keras (jasad), sehingga apa yang terjadi pada hati maka akan berdampak pada jasad. Jika hati baik, maka baiklah anggota badan yang lain. Jika hati rusak, maka rusak pula yang lainnya. Dari An-Nu’man bin Basyir ra, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda:
Artinya: Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung) (HR Bukhari nomor 52 dan Muslim nomor 1599).
Hati yang baik merupakan hati yang selalu takut kepada Allah swt, dan selalu mengharapkan rahmat-Nya. Jika hati manusia rusak, karena tidak ada rasa takut kepada Allah, dan tidak ada khawatir akan siksa-Nya, maka seluruh badan akan ikut rusak, yakni mudah melakukan kemaksiatan.
Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk selalu meminta kepada Allah agar dikaruniakan hati yang baik. serupa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika meminta kepada Allah swt dalam doanya agar memiliki hati yang baik dan terus dijaga dalam kebaikan. Beliau berdoa:
Artinya: Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.
Sehebat-hebatnya dan berdoa-kuatnya hati untuk selalu istiqomah, pasti ada rintangannya, karena kita sebagai umat Nabi Muhammad tidaklah maksum sebagaimana para Nabi dan Rasul. Sehingga kita sepanjang hidup pasti banyak melakukan kemaksiatan, salah satu penyebabnya karena kelalaian hati kita terhadap Allah swt.
Diriwayatkan dalam kitab Nashoihul Ibad karya Syekh Imam Nawawi al-Bantani (1813-1897) Syekh Hasan Al-Bashri berkata: Sesungguhnya rusaknya hati itu menyebabkan 6 hal:
Artinya: Yakni (1) sengaja berbuat dosa dengan harapan kelak taubatnya diterima, (2) mempelajari ilmu namun tidak mau mengamalkannya, (3) ketika beramal tidak Ikhlas, (4) memakan rezeki Allah namun tidak mensyukurinya, (5) tidak ridha (puas) ) dengan mempersembahkan kepada Allah, dan (6) menguburkan jenazah namun enggan mengambil pelajaran dari kematian mereka.
Pertama, Sengaja berbuat dosa dengan harapan kelak taubatnya diterima.
Pernyataan tersebut berarti sama saja meremehkan dosa, dan ketika kita meremehkan dosa, meskipun dosa yang ringan maka dosa tersebut menjadi besar di sisi Allah. Rasulullah saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Artinya:Dari Anas ra, ia berkata, sesungguhnya kalian melakukan suatu amalan dan berpikir bahwa itu lebih tipis dari rambut. Namun kami memperkirakan di masa Nabi saw sebagai sesuatu yang membinasakan (HR Bukhari nomor 6492).
Maka dari itu, apa yang kita anggap kecil bisa jadi besar di mata Allah, meski diperumpamakan dosa itu lebih tipis dari rambut. Karena dosa kecil juga diremehkan maka lama-lama juga menjadi menumpuk besar. serupa yang dikatakan oleh Ibnu Batthol:
Artinya: Sesuatu dosa yang dianggap remeh bisa menjadi dosa besar, ditambah lagi jika terus menerus melakukan dosa.
Kedua: mempelajari ilmu namun tidak mau mengamal-kannya.
Mencari ilmu merupakan bagi kewajiban setiap mukmin laki-laki dan perempuan, ebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Anas bin Malik:
Artinya:Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim (HR Ibnu Majah nomor 224).
Namun yang menjadi permasalahan adalah, banyak umat Islam sudah menuntut ilmu namun tidak mau mengamalkannya. Sehingga ilmu tersebut hanya sekedar teori bukan praktek. Padahal ilmu yang tidak diamalkan, bagaikan pohon tidak berbuah, sebagaimana yang diucapkan oleh pepatah Arab. Di dalam kitab Hiyatul Auliya, bahwa Malik bin Dinar berkata:
Artinya: Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) untuk diamalkan, maka Allah akan terus memberi taufik padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ilmu, bukan untuk diamalkan, maka ilmu itu hanya sebagai kebanggaan (kesombongan) (Hilyatul Auliya’, 2: 378).
Dalam kata lain, Malik bin Dinar juga berkata:
Artinya: Jika seorang hamba mempelajari suatu ilmu dengan tujuan untuk diamalkan, maka ilmu itu akan membuatnya semakin merunduk. Namun jika seseorang mempelajari ilmu bukan untuk diamalkan, maka itu hanya akan membuatnya semakin sombong (berbangga diri) (Hilyatul Auliya’, 2: 372).
Ketiga: Ketika beramal tidak ikhlas,
Beramal merupakan perbuatan yang baik, karena akan memberikan kebaikan bagi dirinya dan sekitarnya, tetapi ada kalanya juga beramal menjadi tidak bermakna dan berpahala ketika tidak dilandasi dari rasa ikhlas. Atau bahasa sekarang hanya sekedar pencitraan dan pansos semata . Dan ketika seseorang tidak memiliki rasa ikhlas, maka hatinya akan bermasalah yakni mengidap penyakit hati bernama riya, ingin dipuji dan sombong. Andaikata tidak ada yang memujinya ia akan siku dan malas beramal kembali.
serupa yang diriwayatkan oleh Abu Umamah ra, dia berkata: Datang seorang lelaki kepada Rasulullah saw dan bertanya, “ Bagaimana menurutmu (ya Rasulullah) jika ada seorang yang ingin mengharapkan pahala dan sekaligus ingin disebut dirinya (sebagai pahlawan), apa yang ia dapatkan ? Rasulullah saw bersabda, “Ia tidak mendapatkan apa-apa”. Lelaki tadi mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Rasulullah saw tetap bersabda, “Ia tidak mendapatkan apa-apa”. Lalu Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas mengharapkan wajah-Nya”.
Hadis di atas dan hadis-hadis lainnya menunjukkan bahwa seorang mukmin tidak akan menerima amalannya jika ia tidak karena mengharap ridha Allah swt dari amalannya tersebut. Karena segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah, maka akan menghasilkan keikhlasan yang mendalam. Dalam hadis lain, Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Nabi Abu Hurairah:
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata Rasulullah saw pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan hatimu (HR Muslim).
Juga disebutkan dalam hadis yang lain bahwasanya:
Artinya: Seandainya salah seorang di antara kamu melakukan suatu perbuatan di dalam gua yang tidak ada pintu dan lubangnya, maka amal itu tetap akan bisa keluar (tetap dicatat oleh Allah) menurut keadaannya (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat, memakan rezeki Allah namun tidak mensyukurinya .
Rezeki merupakan karunia Allah swt yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, jadi sudah sepantasnya kita semua untuk selalu mensyukuri dari setiap apapun yang diberikan kepada kita. Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad dari An Nu’man bin Basyir:
Artinya: Barang siapa tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak (HR Ahmad, 4/278).
Hadis ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri rezeki yang banyak, jika rezeki yang sedikit saja tidak mampu disyukuri. Hal ini juga dikuatkan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 172:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu beribadah (QS Al-Baqarah: 172).
Akan tetapi, jika kita yang telah diberikan nikmat oleh Allah swt menikmati nikmat-Nya dan enggan bersyukur, maka Allah akan menganugerahkan azab yang berat. serupa disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7:
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat (QS Ibrahim: 7).
Kelima, tidak ridha (puas) dengan pemberian Allah swt.
Ridha dengan pemberian Allah merupakan sifat qanaah yang akan membuat hati seseorang merasa cukup dan merasa puas dengan rezeki yang dia miliki. Ia juga tidak akan menuntut lebih banyak terhadap apa yang sudah ada di tangannya.
Karena bagi mereka harta dan segala yang diberikan Allah merupakan titipan semata. Diriwayatkan oleh Thabrani bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Qanaah merupakan kekayaan yang tidak pernah musnah (dalam ath-Thabrani, al-mu’jam al-Ausath, 7/84).
Hadis di atas menunjukkan sifat qanaah menjadi salah satu modal untuk menggapai kehidupan yang lebih lapang, nyaman, dan tentram. Sebaliknya, sifat tamak menjadi ladang kerugian dan juga kerugian bagi manusia. serupa yang tertulis dalam kitab an-Nihayah fi Gharib al-Hadis:
Artinya: Sungguh mulia orang yang qanaah, dan sungguh hina orang yang tamak (dalam ibnu al-Atsir, an-Nihayah fi Gharib al-Hadis).
Keenam, yakni menguburkan jenazah namun enggan mengambil pelajaran dari kematian mereka.
Kematian adalah takdir seluruh makhluk, manusia ataupun jin, hewan ataupun makhluk-makhluk lain, baik lelaki atau perempuan, tua ataupun muda, baik orang sehat ataupun sakit. Seperti dalam firman Allah Ta’ala berikut ini (yang artinya): Tiap-tiap yang berjiwa akan terasa mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (QS. Ali Imran : 185).
Sebaik-baiknya manusia merupakan yang dapat mengambil hikmah dari peristiwa kematian, karena kematian bukan hanya sekedar takdir melainkan hikmah dan nasehat dari Tuhan untuk yang masih hidup. Karena dengan kematian manusia tidak terlalu bernafsu untuk mengejar kenikmatan dunia. serupa disebutkan dalam sebuah hadis;
Artinya:Abu Hurairah ra meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutusan kelezatan, yaitu kematian” (HR Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi).
Dengan mengingat mati seorang hamba juga bisa menjadi menjadi mukmin yang cerdas berakal. serupa yang diriwayatkan oleh Ibnu majah:
Artinya: Abdullah bin Umar ra bercerita, Aku pernah bersama Rasulullah saw, lalu datang seorang lelaki dari kaum Anshar menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad saw lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, orang beriman di kedalaman yang paling terbaik?”, Beliau menjawab: “Yang paling baik akhlaknya”. Orang ini bertanya lagi: “Lalu orang beriman disitulah yang paling berakal (cerdas)?”, dia menjawab: “Yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah yang berakal ” (HR Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Ibnu Maya).(Wallahu alam)
( artikelini merupakan esensi khutbah Jumat, 1 Desember 2023)
*Penulis adalah Guru Besar manajemen Pendidikan/Inovator Pendidikan Indonesia