Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era Tahun 90an, Pendiri The Activist Cyber
JAKARTA || Bedanews.com – Demokrasi kita sedang dalam kondisi kritis. Banyak kebijakan yang dibuat malah mengarah ke neoliberalisme sebuah sistem yang lebih mementingkan pasar bebas daripada kesejahteraan rakyat. Hal ini bahkan telah diakui oleh tokoh nasional seperti Dr. Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, yang secara tegas menyatakan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah semakin condong ke arah neoliberalisme. Alm. Rizal Ramli menyampaikan kritik tersebut pada sebuah diskusi publik pada 16 Desember 2019, di mana ia menekankan bahwa kebijakan pemerintah yang pro-pasar justru mengorbankan kepentingan rakyat kecil dan memperlebar kesenjangan sosial.
Padahal, konstitusi kita jelas-jelas mengamanatkan negara untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan rakyat, bukan segelintir elit atau korporasi besar. Sebagai contoh, kebijakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020. Undang-undang ini banyak dikritik karena lebih berpihak kepada investor dan perusahaan besar daripada kepada pekerja dan rakyat kecil. Proses pembentukannya juga minim partisipasi publik, yang menunjukkan bahwa suara rakyat semakin diabaikan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi partisipatif yang seharusnya menjadi dasar dari setiap kebijakan publik.
Selain itu, proyek infrastruktur besar-besaran yang dicanangkan rezim seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, dan bandara, sering kali hanya menguntungkan para pemodal besar. Sementara itu, dampaknya bagi masyarakat kecil justru minim. Ini mencerminkan arah kebijakan neoliberal yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing, tanpa memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan yang lebih luas.
*Indeks Demokrasi Indonesia Terpuruk*
Kondisi ini juga tercermin dalam buruknya peringkat Indonesia dalam Indeks Demokrasi Dunia. Laporan dari *The Economist Intelligence Unit (EIU)* menunjukkan bahwa pada tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ke-52 dari 167 negara, dengan skor demokrasi 6.71 dari 10. Ini menempatkan Indonesia dalam kategori “demokrasi cacat.” Artinya, meskipun kita memiliki pemilu dan partai politik, kualitas demokrasi kita sudah jauh menurun. Kebebasan sipil semakin dibatasi, partisipasi politik semakin terbatas, dan pemerintahan kita semakin otoriter.
Terkait merosotnya demokrasi dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara, ini telah menjadi fokus kajian diskusi berbagai lembaga demokrasi di tanah air. Namun sayangnya hasil kajian dan kritik yang disampaikan setiap lembaga independen tidak mendapat perhatian dari penguasa. Hasilnya, ketimpangan dan penyelewengan kekuasaan terus terjadi, khususnya dalam 10 tahun terakhir ini.
Penurunan ini bukan hanya masalah angka di atas kertas, tapi ini adalah cerminan nyata dari kemunduran demokrasi di Indonesia dalam satu dekade ini. Jika situasi ini terus dibiarkan, kita akan semakin jauh dari cita-cita demokrasi sejati, di mana setiap warga negara punya suara yang sama dan hak yang dilindungi.
*Melawan Neoliberalisme*
Sementara di tingkat global, World Social Forum (WSF) yang pertama kali diadakan pada Januari 2002 di Porto Alegre, Brasil, lahir sebagai respons terhadap neoliberalisme yang merajalela. WSF 2002 yang dihadiri oleh lebih dari 50.000 peserta dari berbagai negara, menegaskan kembali penolakan terhadap globalisasi neoliberal yang hanya menguntungkan segelintir elit global.
Dokumen *”The Reinvention of Democracy”* yang dihasilkan dari WSF 2002 menekankan perlunya demokrasi yang lebih radikal dan partisipatif, bukan sekadar demokrasi prosedural yang kita kenal sekarang. Forum ini juga mendorong langkah-langkah konkret, termasuk kebijakan ekonomi yang lebih adil, perlindungan hak-hak pekerja, dan perlindungan lingkungan, untuk melawan dominasi korporasi dan globalisasi neoliberal.
*Filsuf Dunia Melawan Neoliberalisme*
Dalam konteks melawan neoliberalisme demi terwujudnya demokrasi yang sejati, pandangan filsuf terkenal seperti Noam Chomsky sangat relevan. Chomsky, yang dikenal sebagai kritikus tajam neoliberalisme, menyatakan bahwa “neoliberalisme adalah ancaman serius bagi demokrasi” karena mengubah negara menjadi alat untuk kepentingan segelintir elit ekonomi sambil mengabaikan hak-hak rakyat. Menurutnya, hanya dengan menolak neoliberalisme dan mengembalikan kontrol ekonomi dan politik ke tangan rakyat, demokrasi bisa berkembang dan hak-hak rakyat dapat benar-benar dihormati. Pendapat ini ia ungkapkan dalam berbagai ceramah dan buku, termasuk dalam buku *Profit Over People* yang diterbitkan pada tahun 1999.
*Pelajaran dari Yunani: Hancurnya Negara Akibat Kebijakan Neoliberal*
Pelajaran pahit juga bisa kita ambil dari Yunani, negara besar di Eropa yang hampir hancur akibat kebijakan neoliberal yang diterapkan selama beberapa dekade. Krisis ekonomi yang melanda Yunani pada tahun 2008 adalah puncak dari kebijakan-kebijakan yang mendorong privatisasi, pengurangan anggaran sosial, dan deregulasi pasar. Dampaknya sangat parah; tingkat pengangguran melonjak, layanan publik runtuh, dan kemiskinan merajalela. Yunani terpaksa menerima paket bailout dari Uni Eropa dan IMF yang justru memperparah penderitaan rakyat dengan syarat-syarat austerity yang ketat.
Ini adalah contoh nyata bagaimana kebijakan neoliberal dapat menghancurkan sebuah negara, dan menjadi peringatan keras bagi Indonesia. Jika kita terus mengikuti jalan neoliberalisme, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami krisis serupa yang menghancurkan kesejahteraan rakyat dan merusak tatanan demokrasi kita.
*Tantangan Pemimpinan Indonesia Kedepan*
Melihat situasi ini, harapan besar kini berada di tangan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto yang terpilih sebagai presiden berikutnya. Tantangan terbesar bagi Prabowo adalah memastikan bahwa demokrasi di Indonesia kembali sehat dan jauh dari pengaruh neoliberalisme. Keseriusan dan ketegasan Prabowo sangat dinantikan, terutama dalam membuktikan bahwa pemerintahannya akan menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama.
Pemerintahan Prabowo harus berkomitmen untuk memutus ketergantungan pada investasi asing yang cenderung menguras sumber daya alam tanpa memberikan manfaat yang seimbang bagi rakyat. Reformasi agraria yang nyata, perlindungan terhadap pekerja, serta kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil harus menjadi pilar utama dalam pemerintahannya. Hanya dengan demikian, demokrasi Indonesia bisa tumbuh subur, adil, dan benar-benar berfungsi untuk kepentingan seluruh rakyat.
Selain itu, Prabowo juga perlu memperkuat lembaga-lembaga demokrasi yang selama ini dilemahkan oleh kebijakan neoliberalisme. Keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi prinsip dasar yang tak bisa ditawar. Dengan demikian, kita bisa menghindari jebakan demokrasi prosedural yang hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan tanpa memberi ruang yang cukup bagi partisipasi rakyat.
Kepemimpinan Prabowo akan menjadi penentu arah masa depan demokrasi Indonesia. Jika ia mampu memimpin dengan hati nurani dan keberanian, menjauhkan Indonesia dari cengkeraman neoliberalisme, maka sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang berhasil menyelamatkan demokrasi Indonesia dan membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih cerah. Namun, jika ia gagal, kita akan melihat pengulangan sejarah kelam yang hanya akan memperdalam luka demokrasi dan semakin menjauhkan rakyat dari keadilan dan kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu 4 September 2024, 10:27 Wib