Hakim diberi kewenangan dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan dan perawatan atas biaya sendiri (pasal 33).
Politik hukum yang membebankan biaya rehabilitasi atas putusan hakim tersebut, dikritik banyak fihak dan menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan hakim, masak iya putusan pidana yang dijatuhkan hakim kok terdakwanya membayar sendiri!
Selanjutnya, pembuat UU mengganti UU no 9 tahun 2009 tentang narkotika menjadi UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika.
Dalam UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika, penyalah guna tetap dikriminalkan dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun (pasal 85)
Sayangnya, pembuat UU tidak memberi kewenangan kepada hakim untuk mendepenalisasi bentuk hukuman melalui kewenangan dapat memutuskan penyalah guna narkotika yang dinyatakan bersalah untuk menjalani rehabilitasi, sehingga penyalah guna dijatuhi hukuman penjara, meskipun penyalah guna adalah penderita sakit adiksi kronis.