Opini
Oleh : Ummu Fauzi (Komunitas penulis mustanir)
Destinasi wisata kini menjadi salah satu cara dalam mendongkrak perekonomian masyarakat. Sebagaimana dikutip dari jabar.antaraNews.com, 15/3/2023, Desi Ruhati Direktur Event Nasional dan Internasional Kemenparekraf, pada kesempatannya di Festival Sarung Majalaya di Kabupaten Bandung, mengatakan bahwa budaya sarung di Majalaya sudah mengakar dan menjadi bagian kehidupan di masyarakat karena sudah turun-temurun warga memproduksi sarung, yakni dari abad ke-17. Beliau berharap daerah Majalaya bisa dijadikan destinasi wisata sarung dan bisa menjadi salah satu bagian dari desa-desa wisata yang ada di Indonesia. Begitu pula pegiat dan produsen sarung diharapkan bisa menonjolkan motif-motif kuno yang menjadi ciri khas daerahnya. Sementara wakil Bupati Bandung Sahrul Gunawan, ingin mengembalikan istilah kota dolar pada kota tersebut yang pernah disandangnya karena produksi sarung.
Pada umumnya pembangunan desa wisata bertujuan untuk memperkenalkan, melestarikan, serta meningkatkan mutu daya tarik wisata. Dengan dijadikannya desa wisata tentu saja daerah tersebut akan terbantu secara perekonomiannya. Sehingga apa yang didorong oleh Pemerintah Kota Bandung yang mensuport Majalaya menjadi destinasi wisata sarung diharapkan mampu berdampak secara perekonomian bagi masyarakat setempat. Namun untuk mencapai tujuan tersebut tentu perindustrian lokal perlu meningkatkan mutu (kualitas) barang agar produk yang dihasilkan dapat meningkatkan daya tarik wisatawan. Hal ini tentu membutuhkan dukungan modal bagi para pengusaha lokal.
Oleh sebab itu, industri-industri kecil yang berada di daerah sudah sepantasnya mendapat dukungan dari pemerintah bukan hanya dijadikan sebagai tempat wisata. Namun secara menyeluruh mendapat sokongan baik dari segi permodalan maupun dari pemasaran. Tujuannya, agar industri lokal bisa menopang roda perekonomian masyarakat secara berkelanjutan dan tercipta lapangan pekerjaan yang cukup di daerah tersebut. Hal ini harus didukung oleh negara agar tidak ada celah bagi investor asing masuk untuk menguasai industri lokal.
Jika negara ingin memajukan dan mengembangkan potensi dalam negeri, negara bisa mendukung masyarakat melalui pemberian modal, ketersediaan bahan baku, lahan yang luas, serta akses pendistribusian yang mudah. Bukan dengan menyerahkan kepada investor asing seperti yang banyak terjadi saat ini. Akibatnya, industri lokal tidak berkembang bahkan gulung tikar, sementara para investor makin berkembang, maju dan menguasai pasar. Inilah yang disebut ekonomi kapitalis.
Dengan sistem ini, negara memberikan keleluasaan kepada siapa pun yang memiliki modal termasuk investor asing untuk menanamkan modalnya dalam bidang industri hingga mereka dapat meraup keuntungan yang besar. Pada akhirnya industri asing akan menggeser pengusaha lokal. Investor asing akan menguasai perusahaan tersebut dengan legalisasi pemerintah. Sementara masyarakat bukan lagi sebagai pemilik tetapi hanya sebagai buruh di daerah sendiri. Itulah yang terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler dimana negara akan berpihak kepada rakyat dan industri ketika secara ekonomi menguntungkan.
Melabeli suatu daerah menjadi desa wisata sekilas memang bagus seakan pemerintah memperhatikan dan ikut andil mendorong pertumbuhan ekonomi di tempat tersebut. Industri-industri kecil memang butuh dukungan dari negara bukan saja modal untuk bisa bertahan tetapi hasil produk yang mereka hasilkan harus ada yang menampung atau mempromosikan agar laku di pasaran bahkan sampai bisa mencapai peluang untuk ekspor.
Hal ini selaras dengan program SDGs yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa secara berkesinambungan. Pembangunan tanpa henti yang akan berlanjut dari generasi ke generasi untuk mewujudkan desa tanpa kemiskinan, kelaparan, layak air bersih dan sanitasi serta pembangunan infrastruktur dan inovasi yang dibutuhkan. Sayangnya program tersebut datang dari negara kuffar yang ingin menguasai aset negeri ini. Konsep yang termaktub dalam SGDs tak lebih dari upaya Barat mengeruk kekayaan Indonesia dengan menjadikan rakyat sebagai alat.
Dukungan dan perhatian pemerintah pada industri di masyarakat hanya dapat diwujudkan saat negara menerapkan aturan Islam. Dalam kebijakan publik yang terkait dengan perekonomian maka negara akan mengeluarkan peraturan yang berdasarkan kemaslahatan umat sesuai tuntunan syariah Islam. Dalam kaitannya dengan perekonomian maka negara akan membantu industri-industri masyarakat dari sisi permodalan, ketersediaan bahan baku yang murah dan berkualitas serta pendistribusian sesuai arahan syariat.
Negara akan mencegah praktek monopoli barang produksi oleh swasta atau asing. Industri lokal akan didukung secara serius agar berkembang menjadi barang ekspor yang hasilnya akan kembali kepada masyarakat. Jika dijadikan tempat wisata maka negara akan menjadikannya sebagai peluang dakwah kepada para wisatawan yang datang.
Ketika kain sarung yang menjadi andalan suatu daerah, maka produksinya akan diarahkan bukan semata nilai materi tapi juga pahala semisal dimodifikasi menjadi gamis (jilbab) dengan motif-motif yang menonjolkan peradaban Islam sebagai bentuk syiar Islam. Sementara makna wisata dalam pandangan Islam adalah safar (perjalanan) yang bisa mendorong seseorang agar dapat merenungi keindahan alam ciptaan Allah Swt, mensyukuri dan bisa memotivasi menunaikan kewajiban hidup sesuai perintah dan larangan Allah. Adapun wisata dalam makna hakiki adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw; “Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah” (HR. Abu Daud 2486)
Dengan demikian keberadaan industri dan wisata yang dapat memajukan umat adalah ketika negara yang menerapkan syariat Islam sekaligus menjaga ketakwaan masyarakat ada di tengah umat. Karena negara merupakan institusi yang bertanggungjawab terhadap pengurusan publik dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di akhirat Sabda Nabi Muhamad saw.: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bish shawab.