Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bandung, (Jawa Barat), mengungkap modus baru praktik politik uang. Dugaan pelanggaran pemilu ini dilakukan salah satu pasangan calon (paslon) bupati-wakil bupati Bandung di ajang Pemilihan Bupati (Pilbup) Bandung 2020. Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Kabupaten Bandung Hedi Ardia mengatakan, modus yang dilakukan dalam kasus tersebut, yakni pembagian kupon yang menampilkan paslon nomor urut 1 Nia Kurnia Agustina-Usman Sayogi. Kupon itu, kata Hedi, bisa digunakan untuk berbelanja di warung-warung yang telah ditunjuk.
“Untuk setiap kuponnya, apabila dinominalkan dalam rupiah sebesar Rp35.000. Pembagian kupon ini terjadi di empat kecamatan,” kata Hedi di Soreang, Kabupaten Bandung. Keempat kecamatan itu, antara lain, Pangalengan, Rancaekek, Dayeuhkolot, dan Arjasari. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kasus yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Hadi menegaskan, praktik tersebut sangat memprihatinkan lantaran hanya akan mengorbankan masyarakat. Bawaslu Kabupaten Bandung mengajak sekaligus mengetuk hati nurani paslon dan tim suksesnya agar tidak menjadikan masyarakat awam sebagai korban ambisi politiknya demi meraih kekuasaan selama lima tahun ke depan. “Seharusnya para paslon beradu jual gagasan, bukan dengan cara-cara yang dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini,” katanya. (Jabar iNews , 02/12/20)
Pilkada serentak tahun ini adalah Pilkada dengan jumlah daerah terbanyak dengan jumlah 270 daerah. Pilkada menjadi momentum untuk memanaskan mesin politik menuju Pemilu 2024. Setiap parpol akan habis-habisan mendorong para kadernya untuk menduduki kursi kepala daerah karena semakin banyak kader sukses menduduki kursi kepala daerah maka akan semakin mudah menyongsong Pemilu 2024.
Sudah menjadi rahasia umum saat pilkada dan pemilu pasti membutuhkan biaya mahal. Politik uang seolah menjadi sesuatu yang “wajib” agar bisa memenangi pertarungan pemilihan. Akan menjadi suatu hal yang berbahaya jika semangat “balik modal” para pejabat dan pemimpin daerah itu menjadi yang utama. Akibatnya, kepentingan rakyat dan kemaslahatan umum menjadi prioritas kesekian. Demokrasi hanya mementingkan kekuasaan dan acuh terhadap rakyat kecil yang buta politik dan tidak tahu apa-apa. Demi memenuhi kebutuhan perut, rakyat rela memberikan hak suaranya untuk ambisi politik para paslon tersebut. Benarlah apa yang tercantum dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. Bersabda,
“Sesungguhnya aku tidak khawatir atas umatku kecuali para imam (pemimpin) yang menyesatkan.” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Hadis ini mengabarkan munculnya para pemimpin yang menyesatkan lagi bodoh. Keberadaan mereka sama sekali tidak membawa kebaikan bagi manusia dan alam semesta. Mereka telah menjual diri dengan harga sangat murah. Mereka diangkat sebagai pemimpin melalui mekanisme sistem yang tidak bersumber dari Alquran dan Sunah, menyelisihi konsensus para sahabat Rasulullah Saw. Politik uang dalam pilkada seolah menyatu dengan mekanisme baku pemilu itu sendiri. Nyaris mustahil jika pemilu dalam demokrasi tak melibatkan uang “panas” dari proses awal hingga akhirnya. Inilah rapor merah pilkada dalam demokrasi. Money politik meniscayakan terciptanya politik transaksional. Mahar politik melahirkan jual beli jabatan. Adanya sponsor pada calon akan melahirkan jual beli kebijakan. Semua akad batil ini akan terus langgeng dan dilestarikan selama platform negara ini tidak berpindah haluan.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Islam sangat menghargai dan memuliakan rakyatnya. Dalam sistem negara Islam (Khilafah), negeri yang diperintahnya dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut wilayah (provinsi). Setiap provinsi dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut imalah (karesidenan). Pemimpin wilayah (provinsi) disebut wali (gubernur). Pemimpin imalah disebut amil atau hakim. Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (provinsi) serta menjadi amir (pemimpin) wilayah itu. Wali harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, yaitu harus seorang laki-laki, merdeka, muslim, balig, berakal, adil, dan mampu. Jabatan wali memerlukan adanya pengangkatan dari Khalifah.
Dengan demikian, tidak akan membutuhkan biaya mahal seperti pengangkatan gubernur atau pejabat tingkat bawahnya karena proses pengangkatan wali dalam sistem Islam bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien, tanpa harus melalui proses yang panjang (rantai proses pemilihan lebih pendek), melelahkan dan membutuhkan modal uang sangat besar seperti dalam sistem demokrasi. Sebagaimana Rasulullah Saw. telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy’ari di wilayah Zabid dan ‘Adn. Rasulullah Saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kecakapan dan kemampuan memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu dan yang dikenal ketakwaannya serta mampu “mengairi” hati rakyat dengan keimanan dan kemuliaan negara. Suasana keimanan yang ada dalam sistem Islam menjadikan penyelenggaraan aparatur negara Khilafah dapat berjalan dengan amanah. Kinerja pemimpin daerah akan senantiasa dikontrol Khalifah atau orang-orang yang ditunjuk Khalifah.
Fungsi pemimpin dalam Islam adalah mengurusi rakyatnya secara sungguh-sungguh dan melindungi rakyat. Jadi, jika dibandingkan dengan sistem demokrasi, sistem Islam jauh lebih hemat, efektif dan efisien serta selalu mengutamakan keselamatan rakyat. Nabi Muhammad Saw. bersabda,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Dalam Hadis lain, “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Jabatan Kepala daerah dimaknai sebuah amanah, manakala ia lalai maka Allah Swt. akan mengharamkannya masuk surga. Oleh karenanya orang-orang yang berada di tampuk kekuasaan adalah mereka yang benar-benar amanah dan memiliki kapabilitas, sehingga urusan rakyat benar-benar diperhatikan, satu-satunya jalan adalah dengan membuang demokrasi dan menerapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah. Wallahu a’lam bish shawwab.