Hal ini, ujar LaNyalla, karena polarisasi akibat Pemilihan Presiden Secara Langsung (Pilpressung) yang bergulir sejak era reformasi masih terjadi. Karena Pilpressung memang tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang super majemuk dan negara kepulauan yang terpisah-pisah. Pilpressung juga tidak cocok diterapkan di negara yang karakter bangsanya guyub dan komunal.
Sejak Era Reformasi yang ditandai dengan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, bangsa Indonesia seolah berubah menjadi bangsa lain. Bangsa yang tercerabut dari akar budaya dan jati dirinya, menjadi bangsa yang semakin individual dan liberal serta materialistis pragmatis.
“Padahal kita sebenarnya sudah punya sistem asli. Yaitu Pemilu yang dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat. Yang nanti duduk di DPR RI. Sedangkan utusan-utusan lain, yaitu utusan golongan-golongan dan utusan daerah, yang duduk di MPR RI, tidak dipilih melalui Pemilu tetapi harus diutus dari bawah. Mereka semua inilah, anggota DPR, anggota utusan golongan dan anggota utusan daerah yang menjadi penjelmaan rakyat yang utuh dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampe Rote,” kata LaNyalla.