Kembali ke masalah budaya hukum: bahkan tanpa dimediasi platform, penegakan hukum yang tidak konsisten juga memupuk ketidakpercayaan. Ketika koruptor atau pelanggar elite tampak luput dari hukuman sementara rakyat kecil dihukum keras, wacana “hukum tarik-ulur” menguat. Kepatuhan tidak tumbuh dari takut semata; ia tumbuh dari keyakinan bahwa hukum berlaku untuk semua. Tanpa keadilan substantif, hukum menjadi instrumen yang mudah dipertanyakan legitimasi dan efektivitasnya.
Apa yang perlu dilakukan? Pertama, penegakan hukum harus konsisten, cepat, dan transparan. Kasus pengrusakan atau pembakaran fasilitas publik harus diusut tuntas—dengan bukti yang dipublikasikan secara berkala—sementara setiap dugaan pelanggaran aparat juga harus diselidiki tanpa pandang bulu. Transparansi itu penting untuk membangun kembali kepercayaan publik. Kedua, pemerintah dan parlemen harus membuka ruang dialog yang nyata—bukan seremonial—dengan publik: dengar pendapat terbuka, pembentukan panel ad hoc untuk meninjau tunjangan, dan mekanisme pengaduan yang berefek nyata. Ketiga, regulasi platform harus memperjelas tanggung jawab dan prosedur darurat saat terjadi kekerasan massal: jalur komunikasi dan tindakan cepat antara Kominfo, penegak hukum, dan platform, termasuk standar bukti dan prosedur banding untuk menghindari penyalahgunaan. Keempat, kampanye literasi digital dan pendidikan budaya hukum perlu dipercepat — dari sekolah dasar hingga komunitas dewasa — agar generasi berikutnya memahami konsekuensi hukum dan etika dari tindakan publik, serta bagaimana memanfaatkan ruang digital secara bertanggung jawab.












