Namun faktor struktural lain tak kalah penting: saluran aspirasi formal yang lemah. Jika DPR, komisi pengawas, atau mekanisme pengaduan publik dirasa lamban, tidak responsif, atau tidak dapat dipercaya, warga akan mencari cara lain untuk didengar. Jalanan menjadi pilihan terakhir. Sayangnya, jalanan juga adalah ruang yang dapat dimasuki oleh aktor-aktor oportunistik: provokator, penjarah, atau kelompok yang memanfaatkan kekacauan untuk kepentingan ekonomi dan kriminal mereka sendiri.
Di sinilah peran media sosial dan ekonomi perhatian menambahkan dimensi baru yang berbahaya. Laporan-laporan menunjukkan bahwa selama peristiwa itu, sejumlah akun melakukan siaran langsung (live) dari lokasi kerusuhan — dan platform seperti TikTok memiliki mekanisme monetisasi yang memungkinkan “gift” berbayar diberikan kepada kreator. Aliran hadiah ini, meskipun kecil per unit, dalam jumlah banyak dapat menjadi sumber pendapatan signifikan. Ketika dramatisasi, kekerasan, atau sensasi menjadi nilai dagang, insentif berubah: bukan hanya politik atau tuntutan yang mendorong massa, tetapi juga potensi keuntungan finansial bagi pelaku atau pembuat konten. Sebagai respons atas eskalasi kekerasan dan penyebaran konten berbahaya, TikTok sempat menangguhkan fitur LIVE di Indonesia untuk beberapa hari, sebuah langkah yang menunjukkan bahwa monetisasi siaran langsung menjadi masalah nyata yang perlu penanganan cepat. (Sumber: Reuters, Bloomberg).












