Mengapa umat bangsa yang hidup di negara hukum bisa berujung pada pelanggaran massal? Jawabannya mustahil disederhanakan: ia merupakan campuran kekecewaan ekonomi, friksi politik, kegagalan saluran aspirasi resmi, provokasi oportunistik, dan—saat ini—distorsi insentif akibat ekonomi perhatian yang dimediasi platform digital.
Akar sosial-politik yang memicu demonstrasi harus menjadi titik mula analisis. Kemarahan publik terakumulasi dari frustrasi ekonomi, rasa ketidakadilan, dan persepsi bahwa elite politik hidup dalam kemewahan yang jauh dari kehidupan rakyat. Dalam gelombang terbaru ini, isu tunjangan perumahan dan fasilitas bagi anggota parlemen menjadi pemicu yang dipersepsikan tak sensitif di tengah beban hidup rakyat. Ketika rasa tidak adil itu bertemu momen tragis—seperti tewasnya seorang pengemudi ojek yang melibatkan aparat—emosi publik meluap dan aksi jalanan mudah berubah menjadi amuk massa.












