Oleh: Muhammad Rofik Mualimin (Dosen STAI Yogyakarta/Pengasuh PP Latifah Mubarokiyah)
YOGYAKARTA || Bedanews.com – Dua dekade terakhir menyingkap realitas yang kian menguat: krisis air dan krisis energi bukan lagi dua persoalan terpisah, melainkan satu ancaman sistemik. Ketika ketersediaan air menipis, suplai energi turut terancam. Sebaliknya, ketika pengelolaan energi tak berkelanjutan, kualitas dan kuantitas air ikut terdegradasi.
Indonesia, yang pernah dibayangkan sebagai negara kaya sumber daya air, kini berada di ambang paradoks. Laporan Kementerian PUPR (2023) mencatat, 9 dari 34 provinsi mengalami tekanan air tinggi, sementara kebutuhan energi nasional terus meningkat rata-rata 6% per tahun (IESR, 2023). Ketika pembangkit listrik tenaga air (PLTA) mengalami penurunan debit, stabilitas pasokan listrik nasional pun terganggu.












