Oleh: Muhammad Rofik Mualimin (Kolomnis/Pengasuh PP Latifah Mubarokiyah/Dosen STAI Yogyakarta)
YOGYAKARTA || Bedanews.com – Belakangan ini, sejumlah pemberitaan media menyoroti praktik kerja santri di beberapa pesantren yang dinilai berlebihan. Tayangan investigasi seperti Mata Najwa di Trans7 dan berbagai laporan kasus kekerasan di pondok pesantren memantik debat publik. Muncul pertanyaan menggelisahkan: apakah kerja keras santri masih dalam batas pendidikan, atau justru menjurus pada eksploitasi?
Pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang menanamkan nilai kedisiplinan, kesederhanaan, dan tanggung jawab. Para santri hidup dalam asrama, belajar kitab kuning, dan menjalani aktivitas harian secara kolektif. Bagi sebagian kalangan, pekerjaan domestik yang dijalani santri—seperti mencuci piring, membersihkan lingkungan, membantu dapur, bahkan bekerja di kebun atau toko milik pondok—dianggap bagian dari pendidikan karakter.